Kamis, 18 Juli 2013

Cerita Orientasi



Maaf jika aku sudah sangat lancang, berani menulis ini. Maaf jika yang kuutarakan ini malah membuatmu tidak bersimpati padaku. Aku hanya ingin membeberkan yang selama ini terpendam, yang beberapa minggu ini menyita pikiranku, yang selalu membuat pikiranku berlabuh kemana-mana, aku hanya ingin semua beban lepas, aku hanya ingin lega.

Mungkin kamu bertanya, atas dasar apa aku menulis ini? Aku tidak bisa tidur, aku gundah, aku gelisah, aku galau. satu persatu banyangmu silih berganti memenuhi pikiranku. Waktuku, pikiranku semua habis tersita olehmu. Aku pun bingung, bisa-bisanya aku begini.

Semua bermula pada hari itu. Masa orientasi baru saja dimulai dengan murid-murid kelas sepuluh baru yang masih memakai seragam putih biru. Muka-muka kami ketakutan bercampur dengan rasa bingung karena harus beradaptasi dengan lingkungan baru kami. Baris-berbaris, dijemur di lapangan, bentakan sana-sini oleh panitia yang lain.

Aku pertama kali melihatmu sewaktu seorang guru bp memanggil namamu untuk maju ke podium. Kamu dipanggil untuk mencontohkan seragam yang benar dan lengkap. Kamu membuka topi abu-abumu sehingga terlihat rambutmu terlihat dengan jelas. Kamu tersenyum ke arah kami, ke arah adik-adik kelasmu, ke arah kelas sepuluh yang baru. Behelmu terlihat jelas sewaktu kamu tersenyum. Manis, tapi aku tidak tertarik. Atau belum, mungkin.

Aku ingat saat itu hari kedua orientasi. Hari Selasa. Kami, anak-anak kelas sepuluh baru dipusingkan dengan tugas membuat surat cinta yang akan diberikan kepada panitia orientasi kelas sebelas dan dua belas. Ada beberapa nama orang kakak kelas kelas panitia yang singgah dalam benakku namun aku segera menepisnya. Rasanya hatiku tidak pas walaupun surat itu hanya untuk candaan.

Aku masih memikirkan hal itu ketika bersiap untuk pulang. Ketika aku berjalan menyusuri pelataran parkir sekolah, aku melihat kakak-kakak panitia berjejer di sana, mengawal kami pulang. Kami menyapa kakak kakak panitia, dan ketika aku melewatimu, kamu tersenyum dan mengangguk padaku. Saat itulah hatiku mantap bahwa kamulah yang akan kukirimi surat tersebut. aku tidak tahu apa alasannya, ide itu tiba-tiba tercetus begitu saja.

Maka saat malam harinya aku begadang menulis surat itu, berusaha agar isi surat itu tidak terkesan bodoh dan berlebihan. Sempat ada ragu ketika aku akan menulis namamu pada amplop berisi surat itu, namun toh aku tidak punya pilihan lain. Dengan debaran jantung yang aneh serta tangan gemetar aku menulis namamu dengan perlahan pada bagian depan amplop itu. Dan perlahan-lahan aku merasakan hatiku menghangat.

Besoknya, ketika hari terakhir masa orientasi kamu tampil bersama teman-teman ekskulmu. Bermain drama islami dan menyanyi karena baru aku tau hari itu kamu bergabung dalam rohis dan paduan suara. Kamu memerankan seorang peran dan membuat kami khusunya kelas aku tergelak. kamu tersenyum di sana, behelmu kembali terlihat. Hatiku berdesir aneh, ada apa sebenarnya? ketika kamu bernyanyi aku bisa mendengar suaramu dengan jelas. Berat dan... ah sungguh, aku ingin sekali mengobrol bersamamu agar aku bisa terus-terusan mendengar suaramu. Karena tidak seperti panitia yang lain yang banyak berbicara, kamu lebih banyak diam dan tersenyum. Bahkan saat kakak kakak panitia memarahi kami, kamu hanya memperhatikan sambil tersenyum.

Mulai saat itu aku lebih sering memperhatikanmu. Mencuri-curi pandang ke arahmu dan buru-buru menundukkan pandangan ketika kamu menatap ke arahku. Aku mengepalkan tanganku, tidak kuasa menahan letupan bahagia ketika melihat senyum yang singgah di wajahmu. Tersenyum ketika mengetehaui kamu berdiri tidak jauh dariku di lapangan ketika sedang baris berbaris. degupan jantung yang tidak beraturan ketika aku lewat di hadapanku. Semuanya. Sebenarnya aku ini kenapa?

Kaetika bersalam-salaman pada hari terakhir masa orientasi pun aku menundukkan pandangan dalam-dalam, menutupi nametag yang tersampir di leherku hanya agar kamu tidak tahu namaku. Aku malu dan dengan sekejap erythrophobia menyerangku, membuat semu merah muda menjalar di pipiku. Dan kamu harus tau ketika tangan kita bersentuhan, rasanya aku hampir tidak bisa berdiri, aku ingin jatuh, duduk ke tanah.

Aku lebih sering online social media, mencari-cari namamu diantara milyaran nama pengguna social media yang lain hanya untuk mengetahui kabarmu, hanya untuk mengetahui apa yang kamu tulis dan rasakan, hanya untuk memuaskan rasa penasaranku.

Dan hanya untuk sakit hati ketika aku mengetahui bahwa kamu sudah memiliki seseorang yang mengisi hati kamu. Hey, mengapa rasanya begitu perih? Mengapa air mata tiba-tiba menitik? Sudah, cukup. Aku mengerti jawabannya. Perasaan ini tumbuh begitu cepat, tanpa sempat aku menyadarinya sehingga aku sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk mencegahnya. Tidak memiliki kesempatan untuk menyadarkan diri sendiri bahwa aku tidak bisa lebih jauh memendam rasa padamu.

Aku merasa begitu bodoh dan malu. Siapa aku ini hahahaha, berani-beraninya berharap pada kakak kelas sepertimu yang sudah jelas-jelas memiliki segala sesuatunya untuk dikagumi. Bukan hanya aku pasti yang menaruh rasa terhadapmu, dan aku tau aku sama sekali tidak layak.

Kamu yang anak rohis, anak paduan suara. Kamu yang berbehel, kamu yang selalu berjalan dengan jari jari digenggam di punggung, kamu yang memakai jam tangan hitam di pergelangan tangan kiri, kamu yang berbadan tinggi. Panitia kalem yang selalu tersenyum, yang memiliki senyum yang sulit membuatku bernapas dengan lancar, yang selalu tertawa di ujung panggung bersama panitia lainnya. Yang membuatku selalu mengharap, yang membuatku tidak bisa tidur. yang telah memonopoli pikiranku. Ah, semua tentang kamu tidak akan pernah ada habisnya.

Setiap hariku rasanya tidak menyenangkan. Tolong jangan membuatku uring-uringan dengan tidak menunjukkan kehadiranmu. Dapat melihat wajahmu saja aku sudah bahagia, sudah cukup. Aku tidak berhak untuk mengharap lebih, aku bukan siapa-siapa kamu. Walaupun aku sadar setiap harinya dadaku sesak dipalu rasa dan rindu. Biarkan aku yang merasakan sakitnya dan wajahmu, kehadiranmu, satu satunya obat bagi sakit hatiku.

Bolehkah aku tetap berdiri di sini? Menunggu kamu untuk berbicara padaku? Sambil tetap mengagumimu dalam diam.