Selasa, 31 Desember 2013

Aku Masih di Sini

Lucu. Seperti baru kemarin rasanya aku melangkah di bawah titik-titik gerimis bersamamu. Menikmati setiap guyuran air hujan yang membasahi rambut kita. Tidak peduli akan air yang terus menetes dari baju kita. Selama aku denganmu, semua terasa membahagiakan. Semua terasa menyenangkan. Semua terasa baik-baik saja. Karena hanya bersamamulah hidupku terasa berwarna. Kamu bukan hanya mewarnai hariku, tapi lebih dari itu, kamu menghidupkan hariku.
Dulu, aku merasa menjadi gadis paling berbahagia. Menjadi orang yang paling beruntung karena telah memiliki kamu untuk menceriakan setiap detik hidupku. Dulu, aku merasa kita adalah dua orang paling berbahagia, paling melengkapi satu sama lain, dan aku merasa kita tidak akan terpisah sedikit pun darimu. Ternyata pemikiran seperti itu sama sekali salah, dan fatal apabila aku selalu menganggap bahwa kamu akan ada terus di sini bersamaku. Ternyata semua bisa berubah. Ternyata semua tidak selalu berjalan seperti apa yang kuharapkan, seperti apa yang aku kehendaki.
Ketika kamu memutuskan untuk pergi, semua duniaku terasa kembali gelap. Semua warna cerah yang dulu sempat kamu torehkan luntur, berubah menjadi campuran warna-warna tidak jelas. Buram, abstark, tidak lagi dapat kunikmati. Aku berusaha mencegah warna cerah itu agar tidak luntur, di lain waktu aku berusaha kembali mencari-cari sesuatu agar warna itu bisa kembali seperti dulu, mengecat ulang dengan harapan-harapan yang ada namun lambat laun aku sadar; semua usahaku tidak akan pernah bisa membantu mengembalikan semuanya seperti dulu. Hanya dengan hadirnya sosokmu-lah yang bisa membawa keadaan sama seperti dulu.
Lucu. Seperti baru kemarin kamu berjanji untuk tetap ada di sampingku dalam keadaan apapun, seperti baru kemarin kamu berjanji untuk tetap membagi duniamu denganku. Seperti baru kemarin kamu berargumen, mengatakan padaku agar tidak perlu khawatir karena kamu akan selalu ada di sini. Namun kini rasanya semua perkataanmu sudah sangat usang, buktinya kamu bahkan tidak peduli ketika aku menangis, meraung-raung meminta agar kamu tetap bertahan di sini. Kamu tetap pergi kan?
Aku masih ingat cara kamu membahagiakan aku tetapi sedetik kemudian kamu membuat aku menangis. Dulu kamu menganggap aku segalanya tetapi rasanya sekarang aku bukan apa-apa bagimu. Kamu ada tetapi kemudian kamu pergi. Kamu bilang ini cinta, kamu bilang aku milikmu dan kamu milikku, jadi aku bertahan.
Kamu tau rasanya terjebak dalam keadaan dimana kamu harus merelakan orang yang kamu sayang untuk pergi? 
Kini, aku hanya bisa merindu sendiri karena aku tahu kamu di sana, tidak merasakan rindu yang sama denganku. Rindu tertawa bersama dengamu, rindu jemariku kamu genggam, rindu pelukan hangat setiap bertemu, rindu wangi jaketmu, rindu menatap matamu, aku rindu akan masa lalu. Dan yang menyakitkan adalah mungkin aku tidak bisa mengulanginya lagi, dan sudah pasti tidak bisa kembali pada masa-masa paling bahagia itu.
Kamu hanya tidak mengerti seberapa berartinya kamu bagiku. Jadi, aku tetap bertahan di sini meskipun ini menyakitkan, aku tetap menunggu kamu datang kembali untuk menghidupkan kembali hari-hariku. Aku hanya menyesal mengapa tidak bisa menahanmu lebih keras untuk tetap bertahan, aku hanya menyesal karena tidak bisa melewati lebih banyak waktu bersamamu. Aku hanya karena menyesal kita terlalu mementingkan ego masing-masing sehingga kamu memutuskan untuk pergi. Sekarang sesal tinggal sesal dan tidak akan membuat segalanya kembali utuh.
Kamu hanya perlu mengerti beberapa hal. Jika aku jatuh cinta lagi kepada orang lain, itu tidak akan pernah sama dengan ketika aku mencintaimu. Bahkan jika aku menghabiskan waktuku penuh bersama orang yang baru, itu tidak akan terasa sama dengan ketika aku menghabiskan detik demi detik dalam hidupku bersamamu.
Aku merindukanmu setiap hari, setiap waktu dan kamu tidak bisa membayangkan betapa itu menyakitkan untukku karena aku tau bahkan kamu tidak pernah merindu padaku.
Sudah, terlalu banyak harapan terlalu banyak kecewa yang aku rasa. Sekarang aku hanya ingin bertahan pada keadaan ini karena aku tidak tau lagi apa yang harus aku lakukan, semua telah kuupayakan agar membuatmu kembali tapi kamu tetap tidak mau peduli. Aku masih di sini jika kamu butuh aku.

Rabu, 25 September 2013

Biarkan Aku Bahagia

Kamu tahu bagaimana rasanya menyukai seseorang namun kamu hanya bisa memandanginya saja? Kamu tahu bagaimana sakitnya itu? Kamu mengerti bagaimana perasaan orang-orang yang perasaannya tidak pernah digubris oleh orang yang ia sayangi? Kamu paham betapa tidak enaknya perasaan itu? Aku paham, aku paham betul mengenai itu.

Dahulu rasanya tidak pernah ada sedih, tidak ada pernah luka, hari-hariku berjalan tanpa rasa sakit. Hanya bahagia saja yang aku rasakan, begitu bahagianya sampai-sampai aku takut jika bahagia itu akan hilang sebelum aku merasakan seutuhnya. Sayang itu hanya dulu. Kata dulu membuatku sakit, memiliki definisi yang sulit dan aku benci mengingatnya karena aku tahu bahwa aku tidak pernah kembali ke masa-masa itu dan selamanya tidak pernah bisa merasakan perasaan nyaman yang menyelubungiku ketika aku bersamamu.

Sudah lama sekali rasanya kita tidak bertegur sapa di pagi yang sejuk di lapangan parkir sekolah kita. Mengenakan setelan putih abu-abu sambil berbicara dengan malu-malu. Mata orang-orang mengawasi tapi kita tidak peduli, yang kita pikirkan saat itu hanyalah kita, hanyalah bahagianya saat menjadi 'kita'. Atau ketika jam pulang sekolah tiba, kamu menungguku di motor besarmu, bertanya apakah aku mau kau antarkan pulang dan aku mengangguk dengan malu-malu. Begitu bahagianya saat-saat seperti itu.

Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali kamu membawakan buku-buku yang aku dekap, atau membukakan pintu untukku dan menyelipkan helai-helai rambut di belakang telingaku. Hanya bentuk perhatian kecil tapi sungguh itulah yang membuatku benar-benar merasa merindu.

Telfon tengah malam darimu yang selalu diakhiri dengan ucapan selamat tidur terasa seperti suatu lagu nina bobo untukku. Begitu aku terlelap, aku tidak takut untuk tidur karena aku tahu bahwa besok aku akan menemukan kebahagiaanku lagi dengan bersamamu. Tapi apakah itu akan terus-menerus berjalan? Apakah kamu akan selalu ada untukku apa pun yang terjadi?

Betapa selama ini aku merasa bahwa aku adalah orang yang akan kau bagi segalanya, yang akan kau curahkan perhatianmu, yang akan kau jaga, yang akan kau lindungi sepenuh hati. Aku berharap semua harapanku terjadi, tercapai. Namun kenyataan tidak sejalan dengan keinginan.

Rotasi bumi rupanya menghentikan kita. Detik-detik berharga yang aku habiskan bersamamu seperti menguap begitu saja, begitu cepat tanpa menyisakan sisa bahkan hanya untuk dikenang. Semua bentuk perhatianmu, Ucapan-ucapan manis pada pesan teks yang kita tukar setiap saat hanyalah bualan, hanyalah omong kosong ketika kamu dengan tiba-tiba, dengan tanpa perasaan meninggalkanku begitu saja tanpa kita sempat memulai suatu apapun. Tanpa kamu sempat menyatakan tiga kata itu padaku.

Getar-getar yang dulu aku rasakan sekarang hancur, rusak, berantakan, pecah, terpotong-potong, tidak pernah bisa bersatu kembali kecuali dengan hadirnya kamu di sini. Mengapa kamu semudah itu meninggalkan aku, meninggalkan segala sesuatu yang dulu pernah kita alami bersama? Mudahkah bagimu untuk menghapuskan namaku pada hatimu? Mudahkah bagimu untuk menata kembali hatimu dan menyerahkannya pada orang lain? Semudah itukah sementara aku di sini, bersusah payah, berderai-derai air mata yang aku keluarkan hanya untuk melupakan kamu. Begitu sulit bagiku, begitu sakit.

Mungkin dari awal semua itu tidak pernah berharga bagimu. Mungkin dari awal aku yang salah karena terlalu cepat dan terburu-buru mengartikan perhatian kecil yang kamu berikan sebagai tanda perasaan lebih, mungkin aku terlalu besar rasa menganggap kamu rasakan yang sama sepertiku. Mungkin aku terlalu......

Bodohnya aku tidak menyadari di luar sana banyak bisa membuatmu lebih bahagia, banyak yang membuatmu lebih tertarik, bukan seperti aku yang serba kurang, bukan seperti aku yang tidak sempurna. Aku hanya adik kecil bagimu, yang bisa kau ajak bercerita jika kamu sedang bosan, yang hanya bisa kau ajak menemanimu ke toko buku ketika penggemar-penggemarmu yang lain tidak bisa kau ajak.Fungsiku hanya sebatas itu. Namun, ini memang jalanmu. Kamu yang berhak menentukan, sekeras apapun aku memanggil namamu untuk kembali, sekuat apapun aku meneriaki namamu untuk tidak pergi namun kamu tetap akan pergi bukan? Kamu tetap akan meninggalkanku bukan? Lalu untuk apa lagi aku memperjuangkanmu?

Aku sudah terlalu pasrah, kamu tahu? Kamu pikir menyenangkan ketika melihat kamu bercanda dan tertawa dengan dia di sudut lapangan sekolah kita? Kamu pikir mudah untuk menyembunyikan air mata yang selalu tiba-tiba berlinang ketika kamu memboncengi dia? Kamu pikir mudah untuk terlihat kuat padahal di saat yang sama aku benar-benar ingin berteriak, ingin menangis, apa pun asal aku bisa menghilangkan perasaan sakit hati ini. Ini sama sekali tidak mudah, kamu tahu. Setiap hari aku hanya berusaha menguatkan diri sendiri, hanya tidak ingin terlihat lemah di hadapanmu. Sulit ketika harus berpura-pura kuat di hadapan orang yang kamu cinta, harus berpura-pura baik-baik saja, harus berpura-pura sudah tak ada rasa, harus berpura-pura bahwa kamu sudah lupa. Sulit ketika harus menutupi perasaan sendiri, namun aku berusaha. Demi hatiku dan kebahagiaanmu.

Bisakah sekali saja kita kembali pada masa-masa dulu? Aku ingin kita yang bahagia. Walaupun rasanya terlalu naif menginginkan semua berjalan sesuai apa yang kuinginkan, biarlah aku egois satu kali saja untuk bisa menghabiskan waktu denganmu lagi, sebentar saja. Biarkan aku bahagia walaupun hanya untuk beberapa saat.

Senin, 16 September 2013

Terlalu cepat

Di pertengahan malam seperti ini sudah seharusnya anak sekolahan seperti diriku berada di tempat tidur. Berselimut dan mengistirahatkan badan serta pikiran yang sudah seharian dikuras oleh lelah dan penat. Bersiap untuk hari esok yang pastinya akan melelahkan. Salahku jika pada waktu selarut ini aku belum juga ingin naik ke tempat tidur dan memejamkan mata. Aku hanya menunggu kantuk itu datang seperti menunggu pesan singkat darimu yang selalu membuatku merasa terbang.

Saat menulis ini, perasaanku tidak menentu. Aku menunggu dan terus menunggu bbm darimu, menantikan kabarmu yang belum kudengar hari ini. Menantikan teks bbm-mu yang mampu membuatku tertawa dan tersipu. Aku menduga-duga mengapa sampai selarut ini kau belum juga mengabariku. Terlalu sibukkah untuk mengetik satu dua patah kata untukku? Terlalu lelah untuk menatap layar ponselmu? Sudah tidurkah? Atau bahkan malas? Aku menyesal telah menduga-duga karena itu membuat perasaanku tidak enak, membuat rasa takut merayapi hatiku.

Perasaan ini aneh. Aku tidak berani menyebutnya perasaan cinta karena aku baru mengenalmu beberapa minggu yang lalu. Secepat itukah aku harus menyimpulkan bahwa setiap getar yang kurasa ini adalah perasaan ingin memiliki? Terlalu baru dan cepat untukku.

Aku hanya ingin bernostalgia sebentar, mengingat kembali masa-masa perkenalan kita. Aku mengenalmu dari jejaring sosial twitter. Seorang kakak kelas, kelas dua belas. Kubuka foto profilemu. Tubuh tinggi dan berisi, rambut gondrong yang sedikit berantakan namun terdapat kesan cool, senyum yang lebar, behelmu terlihat jelas. Aku tersenyum dan berpikir dalam hati bahwa kamu laki-laki yang manis. Aku menekan tombol follow tanpa berharap kamu akan menyadari bahwa ada adik kelas yang tidak kamu kenal mem-follow-mu, tanpa berharap bahwa kamu akan balik mem-follow aku. Tidak pernah berharap untuk bisa mendapat satu pesan singkat darimu.

Namun tanpa aku sangka, kamu mem-follow-ku tanpa kuminta dan ketika kulihat direct message, terdapat satu pesan singkat darimu yang menanyakan identitasku. Aku mencoba tenang dan menjawab bahwa aku adalah adik kelasmu. Kamu menanyakan beberapa hal lainnya dan kita mulai berbincang lewat dunia maya itu. Awalnya perbincangan kita hanya sebatas kurikulum baru, ekskul-ekskul di sekolah, dan perasaanku menjadi anak sma baru. Tapi kemudian kita bertukar pin dan semua rasanya terjadi begitu cepat.

Kamu tidak pernah absen untuk mengucapkan selamat pagi, selamat malam, selamat tidur. Menyemangatiku ketika besok harus bangun pagi-pagi sekali untuk pergi ke sekolah. Semua itu membuatku merasa spesial dan akhirnya aku selalu menunggu ucapan selamat darimu setiap harinya. Dan seringkali merasa konyol ketika aku tidak bisa tidur karena belum membaca ucapan selamat tidur darimu. Aku tertawa pada setiap pesan singkatmu di bbm, merasa gundah ketika kamu lama membalas bbmku, mengirimkan banyak 'PING' agar kamu bisa cepat membalas bbmku dan tersenyum lega ketika namamu ada di layar ponselku.

Lalu suatu hari kamu kemudian mengajakku bertemu di lapangan parkir sekolah. Aku menunggumu di sana, masih dalam seragam putih dan rok panjang abu-abu. Masih dengan ransel sekolahku yang talinya kusampir di pundak. Lalu kamu datang, sebentuk wajah yang sudah sering aku lihat di foto. Kamu tersenyum, seragam putih abu-abu yang kau kenakan terlihat pas di badanmu yang tinggi semampai. Kamu memintaku untuk mengantarkanmu pergi ke toko buku. Aku naik motormu, merasa bebas dan bahagia. Kita menghabiskan sisa hari itu dengan tertawa dan mengobrol bersama tanpa ada rasa canggung sedikitpun walaupun saat itu aku sedang menghabiskan waktu dengan seorang kakak kelas yang baru kukenal, yang baru aku temui hari itu.

Aku merasa nyaman denganmu dalam setiap hari-hari yang kita lewatkan bersama. Perasaan aman selalu ada ketika kamu mengantarku pulang dengan motor besarmu, menderu-deru dan aku mencondongkan badanku untuk bisa tetap mengobrol denganmu di motor, betapa rasanya waktu berjalan sangat cepat ketika kulewatkan denganmu, betapa rasanya satu detik pun terlalu berharga untuk kulewati tanpamu.

Aku bahagia bisa seperti ini, merasakan perasaan bahwa kamulah satu-satunya orang yang kuinginkan dan kuharapkan. Saat ini rasanya aku sudah terlanjur jatuh hati pada kakak kelasku ini. Kakak kelas yang dengan candanya mampu membuatku merasa lebih baik, mampu membuatku semangat untuk bersekolah, dan menjadi kesenanganku di masa putih abu-abu ini. Aku terlalu bahagia dengan semuanya dan kadang merasa takut jika kebahagiaanku hilang ketika aku belum sempat merasakan seutuhnya. Aku takut kebahagiaan itu hilang karena kamu tidak kunjung memintaku untuk menjadi sesuatu yang berharga, seseorang yang kamu harapkan dapat mewarnai hitam putih hidupmu, seseorang yang kamu harapkan bisa menjadi yang kamu sayangi setulusnya.

Rasanya aku tak pernah ingin kehilangan kamu, bahkan membayangkannya pun aku terlalu takut. Aku tidak pernah ingin membayangkan seseorang yang benar-benar kuinginkan pergi tanpa sempat memulai suatu apa pun. Namun rasanya kamu juga tidak kunjung paham bahwa aku menunggumu menyatakannya padaku, menunggumu untuk menggenggam jari-jemariku dan membuatku merasakan aku orang yang paling beruntung. Bahwa kamu tidak pernah mengerti bahwa hanya dengan ucapan selamat tidur darimu saja sudah membuatku merasa menjadi orang yang paling bahagia.

Tolong, jangan menyiksaku dengan rasa dan rindu ini. Aku ingin merangkak, keluar dari lubang ini namun terlalu sulit. Aku sudah jatuh terlalu dalam, dan kamu tidak mau menunjukkan jalan keluarnya. Aku hanya merasa bahwa kamu adalah segalanya yang kuinginkan sekaligus yang tidak bisa kumiliki dalam hidupku.
Meski berjuang keras untuk melupakan, untuk melepaskan, untuk tidak memikirkan namun setiap melihat senyum itu aku selalu sadar bahwa aku benar-benar merindu. Di sini, di tempat yang sama dengan rindu yang semakin menumpuk.

Mungkin terlalu cepat untuk bilang bahwa ini adalah cinta. Tapi kenyataannya adalah inilah yang aku rasakan setiap kali aku melihat wajahmu dan mendengar namamu disebut. Cinta, mungkin terlalu terburu-buru tapi aku mendengar hatiku berteriak bahwa perasaan ini memang cinta.

Selasa, 13 Agustus 2013

Dia Untukku

        Aku berjalan sambil menggenggam pinggiran baki berisi dua piring spageti serta dua teh kotak. Aku harus berjalan dengan berhati-hati jika tidak ingin tersandung kaki  murid lain di kantin. Maklum, saat iu memang jam istirahat dan seperti biasanya kantin selalu penuh.

        Aku menghampiri meja di sudut kantin lalu menaruh baki beserta isinya ke atas meja tersebut. Seorang lelaki yang duduk di sana mengalihkan pandangannya dari buku catatan yang sedari tadi ia baca sehingga tidak menyadari kedatanganku. Ia tersenyum tipis dan menarik kursi kosong yang ada di sebelahnya dan menyuruhku untuk duduk di sana.

        "Nih, aku bawain spageti." Ucapku sambil menyodorkan sepiring spageti dengan keju serta daging yang menggunung di atasnya.
 
        Sesaat laki-laki itu mengernyitkan dahi. "Bukannya tadi kamu bilang cuma mau beli teh kotak?"

        Aku tertawa, "Iya. Tapi aku laper jadi aku beli spageti, sekalian aku beliin buat kamu."

        Laki-laki itu tersenyum lembut, "Lain kali kalo kamu kesusahan bawa banyak makanan atau benda kamu panggil aku, aku kan bisa bantuin kamu."

        "Tapi ini nggak berat kok, buktinya aku bisa sampai di sini tanpa ngejatuhin piring atau bakinya kan?" Aku terkekeh.

       "Lagian kenapa nggak minta  ibu kantin yang nganterin ke sini aja sih? Kalo sampe jatuh kan gawat. Kepala kamu bisa kebentur, belum lagi baju seragam kamu nanti kotor gara-gara saus spageti."

        Aku mendesah. "Aldo.... Aku nggak bakal apa-apa kok. Kamu nggak usah terlalu khawatir ya?"

        Lelaki di hadapanku itu menatapku dalam-dalam dan mengangguk. Kemudian sambil tersenyum ia membelai rambutku sekilas. Aku ikut tersenyum. Kami menghabiskan makanan kami dalam diam. Aldo mulai membuka buku catatannya lagi dan membacanya sambil sesekali memasukan gulungan spageti ke dalam mulutnya.

        Namaku Lisa dan lelaki yang ada di hadapanku ini Aldo. Ia pacarku sekaligus sahabatku serta saudara laki-lakiku. Aku menganggapnya begitu karena aku ingin memiliki hubungan yang selalu dekat dengan Aldo. Bukan hanya sebatas pacar, tapi persahabatan dan persaudaraan juga ada dalam hubungan kami.

       Saat ini aku dan Aldo sudah kelas dua belas. Kami berpacaran sejak kelas sebelas awal. Banyak bahagia dan sedih yang aku lewati saat bersama dia. Pada awal-awal pacaran aku sempat kaget dan sakit hati karena menghadapi perangainya yang cepat berubah. Terkadang ia perhatian, menunjukan sikap protektif padaku yang bahkan terkadang agak berlebihan tapi dia juga sering bersikap cuek dan dingin. Itu yang membuatku sakit hati.

       Namun lambat laun rasanya kami mulai bisa saling memahami. Ia juga tidak lagi bersikap cuek padaku, setidaknya tidak sesering dulu. Kami sempat putus satu kali kemudian ia mengajakku untuk berbalikan. Katanya ia masih sayang dan aku juga belum bisa menghilangkan bayangan senyumnya dalam benakku. Akhirnya kami berbalikan setelah berhari-hari mataku memerah karena menangis semalaman. Aku sering malu mengingatnya, konyol namun memang begitu adanya. Rasanya aku terlalu menyayanginya.

        "Lagi baca catatan biologi?" Tanyaku setelah piring kami bersih.

        Aldo mendongakan kepalanya, "Iya. Kamu udah belajar?"

        "Udah." Aku mengangguk. "Emangnya kamu belum belajar?" Ucapku balik bertanya.

        "Udah sih semalem di rumah. Tapi aku ulang-ulang aja takut ada yang lupa."

        Aku mengangguk-angguk walaupun aku tau ia tidak mungkin lupa. Sepertinya semua pelajaran mudah menempel dan tahan lama pada otak Aldo. Tidak seperti aku yang gampang melupakan apa yang sudah dipelajari.

        Satu hal : Aldo sangat suka belajar. Tidak heran apabila namanya terus-menerus ada pada peringkat satu di sekolahku. Wawasannya yang luas juga membuatnya terpilih menjadi ketua osis hingga kini. Tempat kesukaannya adalah toko buku dan perpustakaan. Rasanya aku tidak pernah melihat ia lepas dari buku bahkan saat jalan berdua denganku. Jika kami sedang jalan ke mall bersama ia selalu memintaku untuk mengantarkannya ke toko buku. Dan aku tidak pernah menolaknya.

        Aku menyukai Aldo yang seperti itu. Aku senang ia gemar belajar dan membaca walau terkadang ia terlihat tidak mempedulikanku saat sedang serius dengan bacaannya. Tapi kan sudah aku bilang, aku terlalu menyayanginya.

        Beberapa sahabat perempuanku menyayangkan keputusanku untuk tetap bertahan bersama laki-laki seperti Aldo. "Del, lo cantik. Lo baik. Siapa sih yang nggak suka sama lo? Lo berhak dapet cowok yang lebih baik dari dia, yang lebih bisa ngertiin dan ngasih perhatian lebih sama lo. Ngga kayak dia yang selalu fokus sama pelajaran. Lo ngga sakit hati kalau dia lebih fokus sama bukunya?" Sakit. Tentu saja. Kadang aku sedih dengan cara Aldo memperlakukanku, seolah-olah aku bukan pacarnya. Aldo terkadang lebih banyak diam dan bersikap dingin. Ia juga bukan laki-laki yang romantis. Tidak ada bunga yang tiba-tiba datang. Tidak ada obrolan panjang di telfon pada saat tengah malam hanya untuk bilang 'aku sayang kamu'. Aldo bukan orang yang seperti itu.

        Bentuk perhatian lebihnya adalah membawakan barang-barangku. Membukakan pintu untukku. Dan melindungiku. Kadang aku mencium perlakuan protektifnya padaku. Tapi ia jarang sekali menyentuhku. Pernah suatu waktu ia menjelaskan alasannya padaku, "Aku sayang sama kamu. Sayang banget. aku siap melindungi kamu dan selalu ada di saat kamu butuhin aku. Aku nggak mau nyentuh kamu sembarangan, aku menghargai kamu sebagai wanita dan sebagai perempuan yang aku sayang." Aku hampir menangis mendengar perkataannya yang seperti itu. Saat itu aku baru sadar bahwa ia bersedia menjagaku, melindungiku walaupun ia tidak pernah menyentuhku, itulah cara dia menghargaiku. rasa-rasanya aku mulai mengerti bahwa sebenarnya Aldo sangat menyayangiku, terbukti dengan perlakuannya yang seperti itu. Dia sayang padaku, jadi dia tidak mau menyentuhku sembarangan. Kalimat itu menari-nari dalam benakku dan kini aku benar-benar memahami maknanya. Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak bisa bahagia bersama Aldo.

        Aku tidak peduli perkataan orang orang. Aku tau Aldo luar dalam lebih dari siapa pun. Aku yang tau rasa sayang dia padaku seperti apa. Aku dan Aldo yang menjalani hubungan ini jadi yang tau bahwa aku bahagia atau tidak hanya kami. Dan aku bahagia, bahkan jika hanya dengan duduk di samping Aldo dalam diam. 

                                                                   
                                                                       ********

        Aku membuka pintu sebuah cafe untuk anak muda yang terkenal di kotaku. Bunyi bel terdengar begitu aku memasuki cafe tersebut. Ucapan selamat datang dilontarkan oleh salah satu waitress di sana. Aku melihat sekeliling berusaha mencari Aldo yang sudah janjian denganku di sini. Suasana cafe masih sepi karena baru pukul sepuluh pagi. Jadi aku tidak kesulitan menemukan Aldo yang tengah duduk di salah satu kursi yang menghadap ke taman depan cafe tersebut. Ketika Aldo melihatku, ia tersenyum tipis dan melambaikan tangannya padaku. Aku menghampirinya.

        "Lama nunggu?" Tanyaku begitu aku sudah duduk di depannya.

        Aldo menggeleng, "Nggak kok. Aku baru aja sampe lima belas menit yang lalu." Katanya sambil nyengir, cengirannya yang khas. Yang selalu aku sukai. "Aku udah pesen minum buat kamu. Ice lemon tea dengan gelas tinggi dan jangan terlalu asam." Aku tersenyum. Aldo memang yang paling mengerti.

       "Makasih. Maaf ya tadi aku kelamaan milih baju. Aku selalu bingung mau pake baju apa biar aku cantik di depan kamu." Ujarku jujur sambil tertawa.

        Raut wajah Aldo berubah menjadi datar, nyaris tanpa ekspresi. Kemudian perlahan-lahan senyumnya yang kalem dan raut wajahnya yang teduh kembali lagi. Ia berkata sambil meremas tanganku, "Kamu selalu cantik kok. Aku nggak peduli dandanan kamu kayak gimana, tapi aku suka kamu yang apa adanya. Aku suka kamu yang sederhana, that's all."

        Aku mengulum senyum. Aku berani bertaruh, pasti saat ini rona merah sudah menjalari pipiku. Pujian Aldo dan genggaman tangannya membuatku merasa deg-degan, namun aku menikmatinya. Untuk ukuran laki-laki seperti Aldo yang jarang memegang tanganku, merangkul, apalagi memelukku membuat jantungku deg-degan setiap kali dia menyentuhku.

        Beberapa saat kemudian minuman kami datang. Kami mengobrol lama hari itu dan aku tertawa pada setiap candaan yang Aldo berikan. Memang, terkadang Aldo bersikap kaku dan kelihatan seperti canggung. Namun aku merasa bahwa ia memiliki kehangatan tersendiri dari setiap caranya berbicara, semua perkataannya, juga pandangannya yang teduh. Ah, dia laki-laki yang baik.

        Ketika hari sudah agak siang dan aku mengatakan aku harus segera pulang untuk mengantarkan ibuku pergi, Aldo menarik tanganku dan berkata. "Tunggulah sebentar di sini. Aku mau nunjukin sesuatu sama kamu."

        Aku tercenung sementara Aldo mengaduk-aduk isi ranselnya. Kemudian tangannya mengeluarkan sebentuk kotak kecil dari dalam tasnya. Kotak itu seperti tempat menyimpan cincin, atau itu memang tempat menyimpan cincin. Aku tidak tahu. Aku diam seribu bahasa. Pandanganku terus menerus terpaku pada kotak yang dipegang Aldo sementara pikiran-pikiran negatif mulai berkeliaran di benakku. Mungkinkah Aldo ingin menunjukkan cincin itu, cincin yang akan dia berikan pada perempuan lain? Apa dia sudah bosan padaku? Atau bosan mendengar perkataan-perkataan yang tidak menyenangkan dari mulut orang-orang di sekitar kami tentang hubungan kami? Jadi dia memutuskan untuk menyelesaikan semuanya di sini? Tiba-tiba mataku terasa panas. Aku tidak ingin kehilangan dia di sini, sekarang. Tidak sekarang. Aku menyayanginya.

        Aldo kemudian kembali menggenggam tanganku, menatap mataku dalam-dalam. Aku balas menatapnya, sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi di sini. Air mataku sudah akan keluar tapi aku tahan sebisa mungkin.

        "Ini buat kamu. Dibuka ya..." Aldo menumpukan kotak itu dalam genggaman tanganku.

        Aku masih bingung, namun tidak urung juga membuka kotak itu. Mataku melebar ketika melihat isinya. Cincin. Berwarna perak yang memantulkan cahaya di sekelilingnya, seperti kaleidoskop. Cincin itu sangat sederhana, tanpa hiasan berlian atau batu atau hiasan lain yang tersemat di atasnya. Benar-benar polos dan sederhana namun indah karena ini dari Aldo, indah karena ia istimewa.

        "Ini buat kamu, bukti bahwa aku serius sama kamu. Bahwa aku benar-benar sayang sama kamu. Bahwa aku nggak peduli sama omongan orang-orang yang buruk tentang kita. Karena yang terpenting adalah kita bahagia dengan kita yang kayak gini. Aku janji aku bakal terus jagain kamu sebisa mungkin, dan ada terus buat kamu. Aku sayang kamu, Della." Ucap Aldo sambil menyematkan cincin itu di jari manis tangan kananku.

        Pundakku bergetar dan kali ini aku tidak kuasa menahan desakan air mataku keluar. Air mata bahagia dan tenang karena perasaan haru dan nyaman ini memelukku dengan begitu erat. Perasaan seperti kamu telah menemukan orang yang tepat untuk kamu.

        Ketika aku mendongakan kepalaku dan menatap wajah Aldo, pipiku sudah sangat basah oleh air mata. Namun aku tersenyum. Tanpa disangka orang seperti Aldo yang selalu bersikap dingin bisa juga seperti ini. Bahkan mungkin hal paling romantis yang pernah aku alami. Aku memang tidak pernah salah memilih untuk bertahan dengannya.

        Memang terkadang menuruti perkataan orang lain tidak pernah akan ada habisnya. Saat ini aku hanya ingin menuruti kata hatiku saja, dan kali ini kata hatiku membawaku menuju cinta yang berlabuh pada Aldo. Aku tidak akan menolak perasaan ini.

        "Boleh peluk?" Lihat, ia bahkan meminta izin sebelumnya untuk memelukku.

       Dengan mata basah oleh air mata, aku mengangguk. Ia mendekapku erat dan saat itu aku tahu ia tidak akan melepaskanku sedikit pun, tidak akan membiarkan aku tersakiti oleh siapa pun. Perasaan nyaman dan dipenuhi oleh rasa bahagia mengitariku. Seribu satu ledakan emosi dan euforia total membuat air mataku terus menderas membasahi pundaknya.

        Aku menyayanginya walaupun ia lebih sering bersikap dingin dan kaku. Aku menyayanginya walaupun ia selalu sibuk dengan buku-bukunya dan acara osisnya sehingga jarang mempunyai waktu untukku. Walaupun ia terlalu sibuk sehingga seringkali seperti mengesampingkan aku. Aku tidak peduli. Aku menyayanginya. Bukan karena dia membuatku merasa spesial. Bukan karena dia pernah menyebutku gadis paling manis dan sederhana yang pernah ia temui. Aku bahagia bersamanya dan aku tidak butuh alasan lain untuk itu. 

        Dia memang orang yang aku cari, aku sayangi. Dia untukku.

Kamis, 18 Juli 2013

Cerita Orientasi



Maaf jika aku sudah sangat lancang, berani menulis ini. Maaf jika yang kuutarakan ini malah membuatmu tidak bersimpati padaku. Aku hanya ingin membeberkan yang selama ini terpendam, yang beberapa minggu ini menyita pikiranku, yang selalu membuat pikiranku berlabuh kemana-mana, aku hanya ingin semua beban lepas, aku hanya ingin lega.

Mungkin kamu bertanya, atas dasar apa aku menulis ini? Aku tidak bisa tidur, aku gundah, aku gelisah, aku galau. satu persatu banyangmu silih berganti memenuhi pikiranku. Waktuku, pikiranku semua habis tersita olehmu. Aku pun bingung, bisa-bisanya aku begini.

Semua bermula pada hari itu. Masa orientasi baru saja dimulai dengan murid-murid kelas sepuluh baru yang masih memakai seragam putih biru. Muka-muka kami ketakutan bercampur dengan rasa bingung karena harus beradaptasi dengan lingkungan baru kami. Baris-berbaris, dijemur di lapangan, bentakan sana-sini oleh panitia yang lain.

Aku pertama kali melihatmu sewaktu seorang guru bp memanggil namamu untuk maju ke podium. Kamu dipanggil untuk mencontohkan seragam yang benar dan lengkap. Kamu membuka topi abu-abumu sehingga terlihat rambutmu terlihat dengan jelas. Kamu tersenyum ke arah kami, ke arah adik-adik kelasmu, ke arah kelas sepuluh yang baru. Behelmu terlihat jelas sewaktu kamu tersenyum. Manis, tapi aku tidak tertarik. Atau belum, mungkin.

Aku ingat saat itu hari kedua orientasi. Hari Selasa. Kami, anak-anak kelas sepuluh baru dipusingkan dengan tugas membuat surat cinta yang akan diberikan kepada panitia orientasi kelas sebelas dan dua belas. Ada beberapa nama orang kakak kelas kelas panitia yang singgah dalam benakku namun aku segera menepisnya. Rasanya hatiku tidak pas walaupun surat itu hanya untuk candaan.

Aku masih memikirkan hal itu ketika bersiap untuk pulang. Ketika aku berjalan menyusuri pelataran parkir sekolah, aku melihat kakak-kakak panitia berjejer di sana, mengawal kami pulang. Kami menyapa kakak kakak panitia, dan ketika aku melewatimu, kamu tersenyum dan mengangguk padaku. Saat itulah hatiku mantap bahwa kamulah yang akan kukirimi surat tersebut. aku tidak tahu apa alasannya, ide itu tiba-tiba tercetus begitu saja.

Maka saat malam harinya aku begadang menulis surat itu, berusaha agar isi surat itu tidak terkesan bodoh dan berlebihan. Sempat ada ragu ketika aku akan menulis namamu pada amplop berisi surat itu, namun toh aku tidak punya pilihan lain. Dengan debaran jantung yang aneh serta tangan gemetar aku menulis namamu dengan perlahan pada bagian depan amplop itu. Dan perlahan-lahan aku merasakan hatiku menghangat.

Besoknya, ketika hari terakhir masa orientasi kamu tampil bersama teman-teman ekskulmu. Bermain drama islami dan menyanyi karena baru aku tau hari itu kamu bergabung dalam rohis dan paduan suara. Kamu memerankan seorang peran dan membuat kami khusunya kelas aku tergelak. kamu tersenyum di sana, behelmu kembali terlihat. Hatiku berdesir aneh, ada apa sebenarnya? ketika kamu bernyanyi aku bisa mendengar suaramu dengan jelas. Berat dan... ah sungguh, aku ingin sekali mengobrol bersamamu agar aku bisa terus-terusan mendengar suaramu. Karena tidak seperti panitia yang lain yang banyak berbicara, kamu lebih banyak diam dan tersenyum. Bahkan saat kakak kakak panitia memarahi kami, kamu hanya memperhatikan sambil tersenyum.

Mulai saat itu aku lebih sering memperhatikanmu. Mencuri-curi pandang ke arahmu dan buru-buru menundukkan pandangan ketika kamu menatap ke arahku. Aku mengepalkan tanganku, tidak kuasa menahan letupan bahagia ketika melihat senyum yang singgah di wajahmu. Tersenyum ketika mengetehaui kamu berdiri tidak jauh dariku di lapangan ketika sedang baris berbaris. degupan jantung yang tidak beraturan ketika aku lewat di hadapanku. Semuanya. Sebenarnya aku ini kenapa?

Kaetika bersalam-salaman pada hari terakhir masa orientasi pun aku menundukkan pandangan dalam-dalam, menutupi nametag yang tersampir di leherku hanya agar kamu tidak tahu namaku. Aku malu dan dengan sekejap erythrophobia menyerangku, membuat semu merah muda menjalar di pipiku. Dan kamu harus tau ketika tangan kita bersentuhan, rasanya aku hampir tidak bisa berdiri, aku ingin jatuh, duduk ke tanah.

Aku lebih sering online social media, mencari-cari namamu diantara milyaran nama pengguna social media yang lain hanya untuk mengetahui kabarmu, hanya untuk mengetahui apa yang kamu tulis dan rasakan, hanya untuk memuaskan rasa penasaranku.

Dan hanya untuk sakit hati ketika aku mengetahui bahwa kamu sudah memiliki seseorang yang mengisi hati kamu. Hey, mengapa rasanya begitu perih? Mengapa air mata tiba-tiba menitik? Sudah, cukup. Aku mengerti jawabannya. Perasaan ini tumbuh begitu cepat, tanpa sempat aku menyadarinya sehingga aku sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk mencegahnya. Tidak memiliki kesempatan untuk menyadarkan diri sendiri bahwa aku tidak bisa lebih jauh memendam rasa padamu.

Aku merasa begitu bodoh dan malu. Siapa aku ini hahahaha, berani-beraninya berharap pada kakak kelas sepertimu yang sudah jelas-jelas memiliki segala sesuatunya untuk dikagumi. Bukan hanya aku pasti yang menaruh rasa terhadapmu, dan aku tau aku sama sekali tidak layak.

Kamu yang anak rohis, anak paduan suara. Kamu yang berbehel, kamu yang selalu berjalan dengan jari jari digenggam di punggung, kamu yang memakai jam tangan hitam di pergelangan tangan kiri, kamu yang berbadan tinggi. Panitia kalem yang selalu tersenyum, yang memiliki senyum yang sulit membuatku bernapas dengan lancar, yang selalu tertawa di ujung panggung bersama panitia lainnya. Yang membuatku selalu mengharap, yang membuatku tidak bisa tidur. yang telah memonopoli pikiranku. Ah, semua tentang kamu tidak akan pernah ada habisnya.

Setiap hariku rasanya tidak menyenangkan. Tolong jangan membuatku uring-uringan dengan tidak menunjukkan kehadiranmu. Dapat melihat wajahmu saja aku sudah bahagia, sudah cukup. Aku tidak berhak untuk mengharap lebih, aku bukan siapa-siapa kamu. Walaupun aku sadar setiap harinya dadaku sesak dipalu rasa dan rindu. Biarkan aku yang merasakan sakitnya dan wajahmu, kehadiranmu, satu satunya obat bagi sakit hatiku.

Bolehkah aku tetap berdiri di sini? Menunggu kamu untuk berbicara padaku? Sambil tetap mengagumimu dalam diam.

Senin, 13 Mei 2013

Senyuman Seorang Gadis

Lelaki itu berdiri sambil memegang bola basket yang selalu ia mainkan pada saat senggang di sekolah. Bola yang sedari tadi ia pantul-pantulkan kini hanya ia pegang. Bola basket itu tidaklah penting jika dibandingkan dengan apa yang tengah ia perhatikan saat itu..

Matanya menatap pada satu arah. Satu sosok. Seorang gadis yang tengah tertawa di ujung lapangan.

Gadis itu membuat Nathan, lelaki berambut gondrong itu urung untuk memainkan kembali benda bulat yang ada dalam genggamannya. Otak dan hatinya sama-sama memerintahkannya untuk memperhatikan gadis itu.
Entah untuk yang keberapa kalinya ia memperhatikan gadis itu. Selama ini ia hanya bisa menatapnya dengan kagum dari jauh. Hanya menatapnya saja, ia tidak mencoba untuk membuat pembicaraan yang singkat.

Gadis penuh tawa. Setidaknya itulah panggilan yang Nathan berikan pada gadis di ujung lapangan itu. Setiap Nathan memandangnya, gadis itu tampak selalu tertawa bersama teman-teman perempuannya yang lain. Hati Nathan bergetar, ingin sekali ia menjadi alasan yang membuat gadis itu tertawa dan tersenyum. Nathan ingin dirinya menjadi alasan mengapa gadis itu bahagia. Ia ingin memiliki tawa gadis itu. Nathan ingin memilikinya.

Selama ini ia terlalu takut mendekati gadis itu. Ia takut senyum gadis itu akan hilang jika ia menghampirinya. Ia takut merusak tawa gadis itu. Jadi ia memutuskan untuk tetap menatap gadis itu jauh-jauh, tidak apa jika ia tidak bisa mengenal gadis itu lebih dekat, yang Nathan inginkan hanyalah perasaan lega ketika ia masih bisa melihat tawa pada wajah gadis itu.

Suatu waktu Nathan mendapati bahwa ada seorang lelaki yang selalu berada di sisi gadis itu. Lelaki itu merangkul, memeluknya, dan membuat raut wajah gadis itu lebih berbinar daripada yang biasa ia lihat. Gadis itu memberikan senyum termanisnya pada lelaki itu, lelaki yang selalu menggenggam tangan gadis itu.

Nathan terhenyak.

Kini, apa yang bisa ia lakukan? Harapannya untuk membahagiakan gadis itu rasanya musnah sudah. Harapan bahwa ia adalah alasan gadis itu tersenyum pupus. Sekarang sudah ada orang lain di samping gadis itu yang mampu membuat gadis itu tersenyum lebih lebar. Gadis itu segalanya yang ingin Nathan miliki sekaligus yang tidak bisa Nathan miliki.

Nathan hanya bisa melakukan satu hal melihat itu semua. Tetap memandangi gadis itu diam-diam walaupun ia merasa sakit. Dadanya sesak dipalu cinta dan harapan pupus. Namun ia bahagia bisa tetap melihat senyum terukir di bibir gadis itu. Ia bahagia walaupun tidak berada di samping gadis itu. Ia bahagia walau hanya bisa menjadi pengagum yang tidak berarti bagi gadis itu.

Karena yang penting baginya adalah tetap bisa melihat senyum dan binar bahagia pada wajah gadis itu. Baginya tidak ada yang lebih membahagiakan dan membuatnya lega. Senyuman gadis itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa utuh dan sempurna.

Sabtu, 11 Mei 2013

UN oh UN.............

haai........ udh lama ga ngepost *lagian siapa yang baca* Tau deh setiap mau ngepost ada aje halangannya.
udah pengen banget menuhin blog sama keluhan-keluhan akhir-akhir ini khususnya keluhan setelah UN *mules*
WOY UN SMP UDAH AKU LEWATIN HAHAHAHA. ha ha ha.-.percaya nggak percaya tapi nyatanya aku emang woles-woles aja sih pas pelaksanaannya, bahkan pas malem seninnya tuh bukannya tidur cepet tapi malah ketawa ketawa nonton stand up comedy, memang sungguh aku murid teladan dan terpuji B-) deg-degan dan tegangnya yaaa habis pelaksanannya, gempeur nungguin hasil, mana masih lama pula keluarnya.... Pas pagi-paginya malah ngerasa lebih lapang, dianter sampe deket gerbang sekolah, didoain serasa mau kemana gitu....
Dan yang ngga dikira sama sekali tuh ternyata aku duduk di belakang hahahaha *dance* *yaterus kenapa* pas udah dibagiin soal+ljunnya rada gemeter juga sambil ngomong dalem hati "semoga ngga dapet soal yang susah" pas lagi ngecek soal, dalem hati masih mikir "initeh beneran gitu lagi un? sekarang teh un?" gataudeh konyol banget emang, awkward pisan.... udah mah pas misahin kertas soal sama ljunnya gemeter banget takut sobek plus pengen ketawa gara-gara suaranya yang mirip kentut pas disobekin, benar-benar memecah konsentrasi...
Hari pertama awalnya baik-baik aja, pas baca soalnya langsung mules, ngeblank parah, rada gayakin jugasih... tapiya berdoa aja. padahal indo tuh dulunya kerasa gampang, taudeh hari pertama absurd banget nget nget-_- terus bawaannya ngantuk aja liat bacaan yang emang lumayan panjang, disitu tuh udh males ngerjain soal, pengennya tidur telungkup aja di meja *nyantei banget lo rai, yekali soal ulangan biasa dan bukan un:"")
terus hari kedua... inggris juga lumayan absurd, nomer satunya aja udh ngecoh pisan, pas baca soal-soal selanjutnya astagfirullah... ni soal pengen dirobekin banget ya? boro-boro pengen ngisi, ngerti aja kaga:(( pulangnya langsung pada debat, nyama-nyamain kode... udah parah pisanlah pas inggris.
Pas matematika yaa lumayanlah, semoga matematika emang bisa bener diandelin. soalnya ga sesusah yang dibayangin sebelumnya, walaupun emang lumayan lieur juga sih. waktu dua jam itu rasanya gacukup buat matematika mah... eh buat semuanya ketang. udah gitu ada yang ngga nemu jawbannya lagi, somplak banget nih soal, gue udah cape-cape ngitung sampe kertas kotretan penuh ga ada jawaban yang pas lagi. sebenernya emang aku yang ngitungnya gabener apa soalnya yang salah?:") *maksa banget*
Yang bikin bener-bener bikin sangat aral banget mah pas ipalah. fisika, biologi, dua-duanya menjengkelkan. baru aja liat nomer satu soal fisika langsung narik napas, kesel pisan. baru aja pengen optimis kalo soal ipa bakal gampang, eh... taunya gampang banget :-| harkos kan tuh yang buat soal. Keselnya di ipa tuh aku belajar A yang keluar B, jauh sama prediksi deh pokoknya. akhirnya nebak-nebak aja sambil berdoa, yahabis mau gimane lagi? nyontek juga nyontek kesiapa? 20 paket coy, emang bener ya angkatan gue tuh....
pokoknya un smp ini ditutup sama ipa bikin penutupan un meriah pisan dengan segala jangarnya:""""")
Ya ngarep bangetsih satu juni nanti yang keluar bakalan air mata haru... amiin, yaharus gitu deh. gaboleh sia-sia dong perjuangan selama ini, pulang les malem, keujanan, sakit, pemantapan sampe jam tiga, pr segunung, bangun pagi pulang malem, ngerasa udah mau remuk nih badan... Tapi usaha keras ngga akan menghianati, setuju ga? *so iye banget gue haha*
Gitu deh, pokoknya lega banget udah ngelewatin un. stres-stresnya belajar, tegangnya, bayangan 20 paket soal, semua udah lewaaaat. Semoga hasilnya memuaskan sih ya... sampai bertemu nanti satu juni! kasih aku air mata kebahagiaan ya:)

Kamis, 07 Februari 2013

Untuk kamu

Kamu,
Seorang laki-laki yang duduk di belakang kursiku
Kamu,
Yang selalu menerima curahan hatiku, keluh kesahku

Kamu ingat  bagaimana awal pertemuan kita?
Dulu kita tidak pernah saling menyapa
Bertatap mata pun tidak
Kamu sibuk dengan urusanmu sendiri, aku pun begitu
Kita berada dalam satu naungan tetapi saling mengabaikan
Kita terlalu sibuk dengan diri sendiri
Pikirku saat itu, mengapa harus mempedulikanmu?
Toh, kamu hanya teman biasa
Mungkin, kamu juga berpikir sama sepertiku
Karena rasanya dulu kamu begitu asing bagiku.

Sampai akhirnya, sepertinya kita mulai saling menyapa
Aku tertawa pada setiap leluconmu
Kamu mulai bercerita banyak tentang segalanya.
Semuanya. Apa yang kamu suka dan apa yang kamu ingin kamu utarakan
Pada akhirnya, sampailah kamu pada persimpangan itu

Suatu persimpangan di mana kamu benar-benar mengaguminya
Kamu bercerita padaku tentang gadis itu
Dan selalu meminta aku untuk membantumu
Setiap kali kamu ingin berbicara tentang dia,
Kamu akan menyuruhku berputar ke belakang kursiku
Kamu mengatakan padaku bahwa kamu benar-benar mengaguminya
Aku mengerti. Semua terlihat dari binar matamu,
Dalam setiap penekanan kata-katamu ketika kita membicarakan dia
Tapi kemudian kamu harus terhempas pada suatu kenyataan
Bahwa ia lebih memilih yang lain dibanding kamu
Kamu terkoyak tetapi masih mampu untuk tertawa

Aku merasakan bahwa kita semakin dekat.....
Kita semakin sering berbagi
Aku lebih sering menjadi pendengar dan memberikan solusi
Sementara kamu dengan semangat menceritakan 'dia' yang lain
Karenanya kita semakin dekat.
Tidak, ini bukan masalah hati, sebatas teman berbagi kukira
Namun lagi, kejadian itu terulang, namun kamu masih bisa tersenyum

Akhirnya kamu menyerah sementara
Mungkin terlalu lelah dengan apa yang tidak bisa kamu genggam
Aku tidak mengerti mengapa mereka menolakmu,
Aku hanya tidak memahami, sudut manakah yang terlihat kurang darimu?

Mungkin kamu merasakan abu-abu dalam harimu
Mungkin kamu merasakan sepi yang menyelubungi
Jadi kamu semakin mendekatkan diri denganku
Karena denganku kamu bisa tertawa bebas
Itu yang kamu katakan

Hari terus berganti hari
Tanpa disadari aku semakin sering memperhatikanmu di kelas
Aku lebih sering mencari kabar tentangmu
Pendengaranku menjadi jauh lebih tajam ketika namamu disebut
Dan jantungku membuat detak-detak tak menentu
Ketika kamu ada di sampingku.

Sudah, aku mengerti. Aku bisa menyimpulkan perasaan ini.
Hanya saja aku tidak tau definisi dari apa yang aku rasakan terhadapmu
Mengapa rasanya aku begitu kesal melihat kamu jalan dengan dia?
Sudut-sudut mataku terasa panas ketika kamu bercerita
Bahwa kamu sangat menaruh kagum padanya
Aku paham. Aku mengangumimu
Dan masih tidak mengerti kenapa sampai detik ini
Aku tidak bisa melepaskan kamu dari benakku

Aku sadar, posisiku tidak lebih dari seorang pendengar
Tempat kamu mencurahkan semua tentang dia yang kamu kagumi
Aku juga cukup sadar kamu hanya menganggapku sebagai teman berbagi
Aku harus bagaimana?
Aku susah karena perasaan ini, kalau bisa mundur, aku ingin sekali mundur
Tapi kenyataan berbicara tentang kebalikannya
Bagaimanapun hati tidak bisa dibohongi
Jika kamu tau, aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk menyanggah rasa ini
Jadi, maafkan aku yang sudah sangat lancang menaruh hati padamu

Waktu berlalu, menunjukan bahwa aku benar-benar mengagumimu
Kagum pada setiap tawamu
Yang mampu membuat aku merasa lebih baik
Kagum pada kepribadianmu
Yang masih bisa tersenyum setelah kamu merasa terkoyak
Aku mengagumi semua tentangmu
Terlebih, aku selalu merasa aman dan terlindungi
Setiap aku ada di sampingmu

Tentu saja seperti orang lain, aku berangan-angan
Pada setiap coretan kata yang kugoreskan
Kutitipkan harapan, aku ingin hari-hari ke depan tetap bersamamu
Nyatanya kamu memang tetap berada di sampingku
Walaupun kita tidak pernah menjadi sesuatu yang lebih dari ini
Tidak apa, aku mengerti
Aku tidak cukup baikmu
Aku sangat mengerti jika kamu tidak membalas perasaanku
Meski setiap waktu kamu selalu di sampingku
Tetapi tidak pernah lebih
Aku menerimanya.
Kamu tidak pernah merasa yanh kurasa.
Perasaan kita rupanya berbeda.
Tak apa.

Akhirnya aku hanya bisa menyampaikan rasa terima kasihku
Sebentuk perasaan syukur yang tidak terhingga
Setidaknya aku masih mempunyai kesempatan untuk dekat dengamu
Walaupun kesempatan menjadi bagian dari hatimu yang paling penting
tidak akan pernah bisa terjadi

Entah, berapa kata yang kutulis untukmu
Semua saksi, mereka mengetahui betapa aku sangat merasakan ini
Terimakasih kamu mau singgah di sini
Walaupun hanya untuk berbagi
Terimakasih untuk mempercayaiku

Terimakasih untuk rasa kagum yang tidak pernah kamu rasakan padaku

Selasa, 29 Januari 2013

Datang lagi?

        Hari ini.... Kamu datang lagi. Kamu datang lagi pada hari-hariku, pada setiap bayangku, seolah kamu tak pernah jauh dariku. Padahal, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menolak kembali kedatangan kamu. Aku sudah berjanji untuk membatasi diri agar tidak terlalu sering mengobrol denganmu. Aku sudah berjanji untuk menjaga jarak denganmu.
        Semua gagal. Janji-janjiku tidak dapat kupenuhi. Aku telah lama berusaha mencoba menghindari perasaanku dengan mengindarimu. Namun selalu saja aku gagal. Perasaanku terlalu kuat untuk kusanggah, terlalu kuat untuk kutolak, aku terlalu lemah menghindari perasaanku padamu, Kau tahu?
         Ketika pengabaianmu terasa begitu lekat, begitu terasa, begitu menyakitkan, aku berusaha tegar dengan menjaga jarak denganmu. Aku menjauhimu karena kamu juga menjauhiku. Aku hanya merasa kamu tidak ingin terganggu olehku, jadi saat itu aku memutuskan untuk mengakhiri kedekatan kita, aku memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri. Kamu ke suatu persimpangan, sementara aku menuju persimpangan berbalik denganmu. Aku berusaha pergi, sejauh-jauhnya. Aku kira dengan jarak seperti ini, segalanya akan menjadi lebih baik untuk kita. Baik buatmu, juga baik buatku. Namun aku salah. Jarak ini justru memperburuk keadaan. Kamu tahu apa yang sering aku rasakan ketika kamu terasa begitu jauh padahal nyatanya kamu ada? Kamu berdiri di dekatku. Kamu nyata. Kamu ada. Tetapi aku merasa kamu begitu jauh, begitu berjarak. Aku merasakan sakit, juga rindu akan tawa yang dulu kita bagi.
        Lambat laun, aku mulai terbiasa dengan hari-hari tanpamu. Walau rasanya begitu abu-abu tanpa kamu, segalanya terasa begitu buruk jika kamu tidak ada di sampingku. Namun kukira ini yang kamu mau, jadi aku hanya berusaha menjalaninya. Aku baik-baik saja. Aku terbiasa tanpamu. Tanpa pesan singkat darimu, tanpa lelucon khas kamu, tanpa obrolan-obrolan ringan yang biasa kita lakukan, hatiku lambat laun menerimanya.
        Namun hari ini, kamu datang lagi. Kamu seperti dulu yang aku kenal, kamu penuh dengan tawa dan juga canda ketika kamu mengobrol bersamaku. Kamu kembali menatapku ketika kita berbicara, kamu tidak lagi mengabaikanku, kamu tidak lagi menjaga jarak denganku.
        Aku tidak tahu apakah aku harus senang atau sebaliknya ketika menghadapi perubahan darimu. Yang kutahu adalah aku hanya takut. Takut jika kamu tiba-tiba kembali mengabaikanku, aku takut kembali merasakan perasaan sakit, aku takut kembali menangis karenamu. Aku takut perasaan yang dulu hampir sirna itu datang kembali.
        Mengapa kamu datang kembali di saat aku sudah terbiasa tanpa kehadiranmu? Mengapa kamu datang kembali ketika aku sudah menutup pintu hatiku rapat-rapat? Seolah kamu ingin memberikan segores harapan yang dulu berusaha aku kubur dalam-dalam. Jika kamu hanya memberi harapan yang tidak kunjung menjadi nyata, aku lebih ingin kamu pergi jauh-jauh dari sisiku, sudah cukup aku merasakan sakit.
        Sekuat apapun aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku sudah pergi dari bayang-bayang tentangmu, tetapi ketika aku melihat kembali wajahmu, berbicara denganmu, perasaan itu tumbuh kembali. Kenyataan bahwa aku masih sangat mengharapkanmu tidak dapat aku tolak.
        Kamu hanya perlu tahu satu hal, usahaku untuk menjauhimu akan terus-menerus gagal jika kamu terus-terusan datang pada setiap hariku. Jangan datang jika niatmku hanya untuk menambahkan lukaku, jangan datang jika kamu hanya ingin menjatuhkanku lebih keras.
        Tapi lepas dari itu semua, aku masih mengharapkanmu.

Sabtu, 26 Januari 2013

Maaf, Aku Terlalu Berharap

        Aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku. Pada kamu. Pada kita. Mengapa rasanya semua berjalan begitu cepat. Tiba-tiba saja Kamu sudah menyita seluruh isi pikiranku. Tiba-tiba saja hadirnya Kamu di sampingku selalu kuharapakan. Kita mulai dekat, bercanda, juga tetawa. Kamu membawa membawa perasaan lain di hatiku ketika aku menatap matamu, berbicara denganmu, Perasaan yang benar-benar membuatku nyaman, membuatku tidak ingin beranjak dari sisimu sedikitpun.
        Semua jadi terasa berbeda karena hadirnya kamu. Hitam dan putih yang biasanya mengisi hari-hariku terasa lebih berwarna, lebih hidup ketika kamu hadir untuk menggenapkan ruang-ruang kosong yang di selubungi kesepian di hatiku. Obrolan-obrolan ringan yang kita jalin terasa tidak lagi biasa, terasa begitu berharga bagiku. Perasaan ini tumbuh lebih cepat daripada yang kuduga.
        Aku merasa susah karena perasaan ini. Sekuat aku bisa, aku berusaha untuk menyanggah perasaanku padamu, berusaha menghindari kamu dan juga perasaanku sendiri. Namun nyatanya semua sia-sia karena kamu tetap hadir tanpa lelah menghuni seluk beluk benakku.Tiba-tiba saja aku merasa takut dan khawatir akan kehilangan sosokmu, tak bisa kubayangkan apa yang terjadi jika aku harus pergi dari tawamu. Aku sulit jauh darimu, terkadang aku merasa kamu seperti oksigen, hal yang penting dan selalu aku butuhkan, padahal kamu bukan siapa-siapa aku. Terkadang aku heran apa yang menyebabkan aku takut kehilangan yang bukan milikku? Salahkan aku dan perasaanku.
        Tapi.... Entah mengapa aku merasa bahwa kamu tak merasakan yang kurasa. Perasaan kita berbeda. Sikapmu padaku juga berbeda, seakan-akan hadirnya diriku tidak berpengaruh apapun bagimu. Rasa pedulimu pun tidak sedalam rasa peduliku. Apa yang salah dari kita? Apa yang salah dari caraku mengagumimu?
        Mungkin, kamu hanya belum mengerti sedalam apa perasaanku. Jadi, kamu hanya mengabaikan ketulusanku dengan menjauhiku, kamu berusaha terlihat tidak peduli. Salahkah aku tetap menyampaikan harap pada setiap air mata yang menetes untukmu? Salahkah aku memiliki perasaan ini? Pernahkah sekali saja aku ada dalam pikiranmu? Pernahkah sebentar saja kamu memikirkanku? Mungkinkah aku bisa merasakan ketulusanmu? Tolong, sekali saja.
       Kadang aku merasa begitu tolol mengemis cinta padamu. Tetap menyukaimu walaupun entah untuk yang keberapa kalinya aku menangis, tetap mengharapkanmu walaupun itu sia-sia. Jadi lihatlah! Aku begitu tulus, perasaanku tanpa syarat. Tetapi lihat dirimu! Pernahkah aku menjadi sesuatu yang berharga di hatimu?
       Aku tidak berhak berbicara tentang rindu akan hari-hari kebersamaan kita yang menyenangkan karena kamu tak merasakan rindu yang kurasa. Jarak yang sengaja kamu goreskan diantara kita seolah menjadi pertanda bahwa kamu benar-benar ingin menjauhkan aku dari hidupmu.
        Tidaklah menyakitkan jika kamu menolak perasaanku karena yang kupermasalahkan sebenarnya bukan itu.  Kamu tahu apa yang paling menyakitkan saat perasaanmu begitu terikat kepada seseorang? Bukan karena kamu tidak bisa menyatu dengan dia maka kamu akan merasa hidupmu begitu nestapa. Sesuatu yang lebih meluluhlantakkan hatimu adalah ketika seseorang itu pergi menjauh dari hidupmu, membiasakan diri tanpamu atau bahkan orang itu tidak menganggapmu ada sekalipun kamu ada di sampingnya. Seseorang itu tidak ingin kamu terlibat dalam hidupnya, bahkan sekedar untuk diingat. Dan itu perlakuanmu padaku.
        Mungkin, dari awal memang aku yang salah. Aku terlalu cepat menyimpulkan bahwa perhatian kecil yang kau beri padaku adalah bentuk perasaan lebihmu, tanpa tahu bahwa itu hanyalah sebuah perhatian kecil dari seorang teman. Aku yang salah untuk terlalu berharap bahwa kita bisa menyatu tanpa menyadari bahwa kamu tidak memiliki perasaan yang sama denganku. Aku memang salah.
        Namun, aku juga tidak bisa melupakan janji-janjimu. Ucapanmu ketika mengatakan, "Aku juga suka sama kamu." Terasa begitu semu, terasa seperti ambigu ketika kenyataannya adalah kamu tidak pernah menyukaiku sama sekali. Aku tidak mengerti, janjimu terlalu banyak dan tidak ada satu pun yang kamu tepati. Apakah kita akan berpisah di persimpangan jalan yang telah sama-sama kita bangun?
        Ingatkah perkataanmu dulu yang selalu membuatku nyaman dan tenang? Kamu akhirnya menjatuhkan aku sekeras yang kamu bisa dari kebahagiaan semu yang telah kamu beri. Tak ada artinyakah aku di matamu, sayang, padahal aku telah menganggapmu seseorang yang lebih dari teman, yang begitu bernilai dalam hidupku, dalam setiap napasku dalam setiap detak jantungku. Tetapi aku harus terhempas pada kenyataan bahwa aku bukan siapa-siapa bagimu dan tidak akan pernah menjadi siapa-siapa, selamanya begitu.
        Kini, masih bisakah aku menaruh berjuta harapan yang tak kunjung menjadi nyata? Aku baru menyadari bahwa kamu begitu sulit kuraih, begitu jauh dari genggaman tanganku. Aku harusnya menyadari posisiku saat ini.
        Tenanglah, tidak usah khawatir. Aku bisa memendam perasaan ini. Karena jika aku menjelaskan pun kamu tidak akan pernah mau mencoba untuk mengerti, semua akan menjadi sia-sia. Aku akan berusaha untuk melepaskan segenap harapanku, aku akan berusaha mengubur sisa-sisa kebahagiaan yang hampir musnah itu dalam dasar hatiku, agar tidak ada seorangpun yang bisa mengambilnya kembali. Agar kamu mengerti betapa besar aku berharap.
        Tidak usah kamu ajari aku bagaimana cara merindukanmu, aku lebih tahu. Hatiku lebih sering menafsirkan rasa itu. Tidak usah kamu ajari aku bagaimana caranya melupakanmu karena hari-hariku lebih sibuk mengeja rasa itu. Dan kamu pasti tahu, aku berbohong jika aku bilang bahwa dengan mudahnya aku membenci dan melupakanmu, selamanya aku tidak akan begitu. Kamu pasti tahu kalau aku selalu sulit lepas dari bayang-bayang tentangmu.
        Sekarang menjauhlah, jangan dekati aku lagi. Aku tidak ingin perasaan itu terus-menerus mengiringiku tanpa bisa menjadi nyata. Aku lebih memilih untuk dekat dengan sepi dan luka, biarkan aku sendiri yang mengobati sakit hatiku. Aku lebih mengerti diriku daripada kamu yang tidak pernah mau mencoba untuk mengerti.
        Maafkan aku karena sudah terlalu berharap.

Rabu, 23 Januari 2013

Pertemuan Dalam Hujan

        Hujan. Bau tanah basah. Udara yang lembab.
        Aku menatap langit dari teras rumahku. Langit mengeluarkan titik-titik air kecil yang membuat genangan-genangan air di jalanan. Aku menarik napas dan menghembuskannya. Entah mengapa aku selalu merasa bahwa hujan selalu membawa atmosfer lain, sesuatu yang dapat membuatku berpikir lagi pada kejadian silam. Tiba-tiba ingatanku seakan dipaksa untuk hadir kembali pada kejadian itu. Pertemuan singkat yang telah benar-benar merubah seluruh perasaanku.

                                                                               
                                                                        ********

        Aku berdirim dalam diam di depan gerbang sekolahku menunggu hujan reda untuk pulang ke rumah. Hujan tidak kunjung berhenti sejak tadi siang hingga sore ini, membuat cuaca mendung juga suasana hatiku yang seketika menjadi muram.
        Aku memeluk erat tubuhku sendiri dengan lenganku yang ramping. Seragam sekolah yang masih kukenakan telah setengah basah oleh air hujan yang terus menderas. Aku harus pulang, ibu pasti sudah sangat khawatir padaku.
        Saat itulah kamu datang.
        Di antara hujan yang tidak kunjung berhenti, di antara dinginnya udara.
        Kamu datang, mengendarai motormu dan berhenti tepat di depanku. Saat itu aku hanya diam termangu, merasa bingung.
        Kamu membuka helmmu, menampakkan sebentuk wajah yang tidak akan pernah hilang dari ingatanku, sebentuk wajah yang selalu membayangi aku. Kamu tersenyum padaku, kamu turun dari motormu, mendekatiku dan ikut berdiri di sebelahku. Tanpa berkata apa-apa lagi kamu segera mengulurkan jaket abu-abu padaku. Kamu masih tersenyum ketika kamu menyampirkan jaket itu pada bahuku, seolah kamu menyuruhku untuk segera memakai jaket itu agar aku berhenti kedinginan. Akhirnya aku memakai jaketmu, aku merasa badanku menjadi lebih hangat, begitu juga dengan hatiku.
        Setelah itu kamu kembali menaiki motormu dan tanpa berkata apa-apa kamu segera pergi dari hadapanku. Aku ingat sebelum kamu benar-benar pergi dari hadapanku, dari hidupku kamu tersenyum. Aku hanya bingung dan kaget. Namun sebelum aku sempat menyadari apa yang telah terjadi, sebelum aku sempat bertanya apa yang kaulakukan, kamu telah benar-benar pergi dariku.
        Aku pulang dengan jaketmu di tubuhku, Walaupun udara dingin, aku merasa hangat karena jaketmu. Walalupun kamu sama sekali tidak menyentuhku, aku merasa hangat oleh senyumanmu.


                                                                            ********

        Waktu terus berlalu, meninggalkan pertemuan singkat antara kita berdua. Jaketmu masih ada padaku, selalu aku jaga, selalu aku simpan.
        Kau tahu? Rasanya aku memiliki suatu perasaan yang lain kala aku mengingat pertemuan kita. Sesuatu yang dapat membuatku tersipu, tersenyum-senyum, sesuatu yang aku rindukan. Aku masih seringkali bingung ketika menganang masa itu, kamu, orang yang sama sekali tidak kukenal datang padaku di kala hujan. Membawakanku jaket dengan senyumanmu dan tanpa berkata apa-apa kamu pergi dari hadapanku, kamu tidak pernah kembali lagi. Aku bahkan tidak sempat bertanya siapa namamu.
        Aku sering melihat adegan seorang lelaki memberikan jeket pada perempuannya pada film-film. Awalnya aku menganggap adegan itu suatu adegan biasa, namun setelah aku merasakannya sendiri aku berpikir ulang bahwa adegan itu lebih dari sekedar biasa.
        Aku tidak pernah menyangka sebelumnya. kejadian itu bisa terjadi padaku dengan orang yang tidak kukenal, ya kamu. Aku menyukai saat-saat dimana aku mengenang masa itu, kau tahu? Aku sungguh ingin kamu ada di sini, biarpun hanya untuk mengetahui namamu.
        kamu telah berhasil membuatku mencintai hujan karena kenangan yang ada di dalamnya. Hanya dalam waktu yang singkat saja tetapi hujan mampu membuatku merasa kamu ada di sampingku. Memang aneh rasanya, menaruh perasaan pada orang yang tidak kukenal, yang hanya datang dalam hidupku beberapa menit. Tapi inilah kenyataannya. Sulit kupercayai, tapi aku mencintai hujan bersama kamu di dalamnya. Bersama pertemuan singkat kita.
        Aku merindukanmu, dan aku tidak tahu di mana dan kapan kita bisa bertemu lagi. Aku ragu, mungkin kamu tak rasakan sepertiku, aku selalu menunggu hujan datang, setiap saat, setiap waktu. Menunggu kamu membawa kehangatan padaku.
        Pertemuan singkat yang kita alami telah merebut hatiku, telah membuatku jatuh pada hari-hari di mana aku merindukanmu.
       Hujan. satu-satunya hal yang dapat mengobati rinduku padamu. Mengobati rinduku pada sepenggal kisah pertemuan kita yang mungkin takkan bisa terulang.
       Aku hanya ingin kau tahu, diam-diam aku selalu menitipkan rindu dan harapan yang sama dalam beribu-ribu rintik hujan yang turun: aku ingin hari-hari mendatang selalu bersamamu.       
       Aku mencintaimu, laki-laki yang tidak kuketahui namanya.
      Aku mencintaimu, laki-laki yang bertemu denganku di antara hujan.
      Di takdir manakah kita akan bertemu kembali?
      Aku menunggu.