Jumat, 21 Februari 2014

Apa Kabar, Kamu?



Hai, apa kabar kamu sekarang di sana?
Tidak terasa ya, sudah berbulan-bulan kita tidak bertegur sapa. Sudah berulan-bulan pula saya tidak mendengar suara berat kamu yang selalu saya suka. Rasanya aneh melewati hari tanpa kamu. Hampa, kosong, waktu terasa berjalan begitu lama ketika kamu tidak di samping saya. Pada hari-hari awal ketika kamu mengucapkan selamat tinggal, rasanya begitu berat. Rasanya saya tidak mau dan tidak mampu melewati detik demi detik dalam setiap harinya. Rasanya bahagia saya hilang begitu saja, namun bagaimana pun saya harus tetap menjalani hari seperti biasanya kan? Seperti yang kamu mau, saya berusaha lakukan itu. Bersikap sebiasa mungkin, seolah-olah tidak kehilangan, padahal sepi begitu membuat saya sesak.
Saya ingin tahu, bagaimana keadaan kamu kini tanpa saya? Apakah sama tersiksanya seperti saya? Ataukah kamu bahagia karena bisa terlepas dari saya? Apapun itu, saya selalu doakan yang terbaik untuk kamu, dan untuk kita.
Saya tidak bisa menjelaskan perasaan saya sekarang. Perasaan hampa, jiwa saya seperti tidak di tempatnya. Jika kamu ingin tahu, setiap paginya saya selalu berharap bisa bertemu pandang denganmu di parkiran sekolah dalam seragam putih abu-abu sekolah kita. Atau mungkin kita bisa bertemu di masjid ketika jam istirahat? Dan kamu tidak bisa mengerti betapa bahagianya saya hanya dengan melihat kamu tertawa di tengah-tengah gerombolan temanmu, walaupun kamu sama sekali tidak memandang ke arah saya, walaupun kamu sama sekali tidak menyadari kehadiran saya, atau pura-pura tidak sadar, saya bahagia. Karena satu-satunya yang saya butuhkan adalah dekat denganmu, jadi tolong jangan berusaha menjauh. Baru  saya sadari, saya yang terlelap setelah seharian menunggu pesan singkat darimu, meskipun saya menyadari betul bahwa namamu tidak akan tercantum pada layar ponsel saya, saya tetap selalu menunggu. Saya akan tetap selalu ada di sini untuk kamu, seperti janji saya dulu.
Rasa rindu ini begitu nyata. Saya bisa merasakannya, perlahan-lahan menguras air mata ketika saya mengenang saat-saat kita bersama dulu. Saya rindu ucapan selamat pagi darimu, rindu kamu yang ucapkan selamat tidur dan jadikan setiap malam indah, saya rindu tatapan mata kamu yang teduh dan kalemnya senyuman kamu. Saya rindu wangi jaketmu, saya rindu segala hal tentang kamu, segala hal menyenangkan yang pernah kita lalui bersama.
Kadang saya memohon pada waktu, agar kamu bisa kembali pada saya. Tetapi yang membuat pedih adalah sang waktu tidak membawa saya kembali pada masa-masa menyenangkan itu, bahwa ia tidak mau mengerti begitu menyedihkan dan sulit masa yang saya hadapi sekarang tanpa kamu.
Saya selalu bertanya-tanya dalam hati, apakah kamu larut dalam rindu yang sama dengan saya? Ataukah justru kamu bahagia tanpa hadirnya saya? Pernah tidak saya, sekali saja, terlintas dalam pikiran kamu? Jika kamu menanyakan hal yang sama, kamu telah melontarkan pertanyaan konyol, bahkan kamu selalu berdiam dalam pikiran saya dan tidak mau pergi.
Jika saya masih ingin di sini, menunggu kamu yang entah akan kembali atau tidak, apakah saya salah? Jika saya masih ingin berharap dan merindu, bolehkah?
Pernah suatu kali saya mencoba melupakan segala tentang kamu dan melepaskan bayang-bayang kamu, namun ketika saya kembali menatap wajahmu, meskipun itu hanya sekilas, hati saya berontak. Mata saya memanas, dan perasaan itu hadir kembali. Sudah berbulan-bulan saya berusaha melupakan kamu, sudah berbulan-bulan saya meyakinkan diri sendiri bahwa kamu sudah tidak berarti apapun bagi saya. Namun begitu sosok kamu muncul lagi di hadapan saya, ternyata hati saya membantah, saya masih mencintai kamu dan rupanya perasaan ini tidak bisa hilang begitu saja, bahkan oleh waktu. Jadi saya menyerah untuk mencoba membuang segala pikiran tentang kamu. Saya hanya bisa membiarkan segala sesuatunya berjalan apa adanya.
Saya selalu berharap semoga kita dipertemukan kembali dalam suatu waktu yang lain, jika tidak sekarang. Membawa rasa yang sama seperti berbulan-bulan yang lalu, karena hanya nama kamu yang masih tertambat dalam hati saya, bahwa ternyata perasaan saya terhadap kamu belum berubah. Maafkan saya jika saya sudah lancang mencintai kamu sebesar ini, jangan salahkan saya. Saya tidak keterlaluan, perasaan inilah yang sebenarnya terlalu.
Saya hanya bisa berdoa bahwa suatu saat nanti akan ada jalan yang bisa membawa kita bersama kembali, kadang saya merasa begitu naif dan egois mengharapkan segalanya kembali seperrti dulu, padahal saya tahu bahwa segalanya tidak akan pernah sama lagi. Maafkan saya, ya.
Saya rindu kamu.

Sabtu, 18 Januari 2014

Single Fighter

Gue nggak tau pasti kenapa gue milih topik ini buat dibahas di postingan kali ini. Gue cuma dapet pencerahan karena baca beberapa tweet dari temen-temen gue dan beberapa karena pengalaman pribadi juga sih sebenernya haha. Yang mau gue bahas adalah tentang 'single fighter' atau pejuang tunggal yaah bisa dibilang juga orang yang berjuang sendirian. sooooo ini dia!

"Terus, apa gunanya aku ada di sini kalo nggak diperjuangin?" atau "Buat apa terus-terusan berjuang sendirian, cape kali lama-lama." Yup, kita-kita pasti nggak asing sama tweet-tweet kaya begituan setiap scroll time line. Pasti aja ada tweet kayak begitu atau semacamnya tentang kegalauan seseorang yang kalo kata mereka, mereka itu nggak dianggap padahal udah bener-bener berjuang mempertahankan hubungannya dengan si doi.
Sekarang, gue mau mencoba memposisikan diri gue sebagai seseorang yang berjuang sendirian itu. Sakit pasti, udah jelas sih itu mah. Kita ada, tapi seperti dianggap nggak ada. Padahal kita udah berjuang mempertahankan hubungan kita dengan si dia tapi 'dia'-nya sama sekali nggak menggubris perjuangan kita bahkan yang lebih parahnya lagi kalo si dia nggak menggubris kehadiran kita. Akhir-akhirnya sih balik lagi deh ke pertanyaan, "jadi buat apa gue bertahan kalo lo bahkan nggak menghargai kehadiran dan perjuangan gue?"
Kadang-kadang, orang yang sedang terjebak di keadaan berjuang sendirian ini jadi serba salah. Semua rasanya bikin nyakitin. Mau tetap berjuang, bikin sakit karena perjuangan kita yang udah mati-matian nggak dianggap sama dia, bahkan dia cenderung nggak peduli sama kelanjutan hubungannya. Terus, kalo mau ngelepasin karena kita udah terlalu lelah untuk berjuang sendirian plus nggak dianggap juga nyakitin. Alesannya sih masih sayang, nggak bisa lepas dari dia, terlalu banyak kenangannya... pokoknya segala macam alesan yang bikin kita tetap bertahan walaupun udah disakitin entah berapa kali. Pokoknya intinya ada di posisi itu tuh sama sekali nggak enak, percaya deh.