Selasa, 13 Agustus 2013

Dia Untukku

        Aku berjalan sambil menggenggam pinggiran baki berisi dua piring spageti serta dua teh kotak. Aku harus berjalan dengan berhati-hati jika tidak ingin tersandung kaki  murid lain di kantin. Maklum, saat iu memang jam istirahat dan seperti biasanya kantin selalu penuh.

        Aku menghampiri meja di sudut kantin lalu menaruh baki beserta isinya ke atas meja tersebut. Seorang lelaki yang duduk di sana mengalihkan pandangannya dari buku catatan yang sedari tadi ia baca sehingga tidak menyadari kedatanganku. Ia tersenyum tipis dan menarik kursi kosong yang ada di sebelahnya dan menyuruhku untuk duduk di sana.

        "Nih, aku bawain spageti." Ucapku sambil menyodorkan sepiring spageti dengan keju serta daging yang menggunung di atasnya.
 
        Sesaat laki-laki itu mengernyitkan dahi. "Bukannya tadi kamu bilang cuma mau beli teh kotak?"

        Aku tertawa, "Iya. Tapi aku laper jadi aku beli spageti, sekalian aku beliin buat kamu."

        Laki-laki itu tersenyum lembut, "Lain kali kalo kamu kesusahan bawa banyak makanan atau benda kamu panggil aku, aku kan bisa bantuin kamu."

        "Tapi ini nggak berat kok, buktinya aku bisa sampai di sini tanpa ngejatuhin piring atau bakinya kan?" Aku terkekeh.

       "Lagian kenapa nggak minta  ibu kantin yang nganterin ke sini aja sih? Kalo sampe jatuh kan gawat. Kepala kamu bisa kebentur, belum lagi baju seragam kamu nanti kotor gara-gara saus spageti."

        Aku mendesah. "Aldo.... Aku nggak bakal apa-apa kok. Kamu nggak usah terlalu khawatir ya?"

        Lelaki di hadapanku itu menatapku dalam-dalam dan mengangguk. Kemudian sambil tersenyum ia membelai rambutku sekilas. Aku ikut tersenyum. Kami menghabiskan makanan kami dalam diam. Aldo mulai membuka buku catatannya lagi dan membacanya sambil sesekali memasukan gulungan spageti ke dalam mulutnya.

        Namaku Lisa dan lelaki yang ada di hadapanku ini Aldo. Ia pacarku sekaligus sahabatku serta saudara laki-lakiku. Aku menganggapnya begitu karena aku ingin memiliki hubungan yang selalu dekat dengan Aldo. Bukan hanya sebatas pacar, tapi persahabatan dan persaudaraan juga ada dalam hubungan kami.

       Saat ini aku dan Aldo sudah kelas dua belas. Kami berpacaran sejak kelas sebelas awal. Banyak bahagia dan sedih yang aku lewati saat bersama dia. Pada awal-awal pacaran aku sempat kaget dan sakit hati karena menghadapi perangainya yang cepat berubah. Terkadang ia perhatian, menunjukan sikap protektif padaku yang bahkan terkadang agak berlebihan tapi dia juga sering bersikap cuek dan dingin. Itu yang membuatku sakit hati.

       Namun lambat laun rasanya kami mulai bisa saling memahami. Ia juga tidak lagi bersikap cuek padaku, setidaknya tidak sesering dulu. Kami sempat putus satu kali kemudian ia mengajakku untuk berbalikan. Katanya ia masih sayang dan aku juga belum bisa menghilangkan bayangan senyumnya dalam benakku. Akhirnya kami berbalikan setelah berhari-hari mataku memerah karena menangis semalaman. Aku sering malu mengingatnya, konyol namun memang begitu adanya. Rasanya aku terlalu menyayanginya.

        "Lagi baca catatan biologi?" Tanyaku setelah piring kami bersih.

        Aldo mendongakan kepalanya, "Iya. Kamu udah belajar?"

        "Udah." Aku mengangguk. "Emangnya kamu belum belajar?" Ucapku balik bertanya.

        "Udah sih semalem di rumah. Tapi aku ulang-ulang aja takut ada yang lupa."

        Aku mengangguk-angguk walaupun aku tau ia tidak mungkin lupa. Sepertinya semua pelajaran mudah menempel dan tahan lama pada otak Aldo. Tidak seperti aku yang gampang melupakan apa yang sudah dipelajari.

        Satu hal : Aldo sangat suka belajar. Tidak heran apabila namanya terus-menerus ada pada peringkat satu di sekolahku. Wawasannya yang luas juga membuatnya terpilih menjadi ketua osis hingga kini. Tempat kesukaannya adalah toko buku dan perpustakaan. Rasanya aku tidak pernah melihat ia lepas dari buku bahkan saat jalan berdua denganku. Jika kami sedang jalan ke mall bersama ia selalu memintaku untuk mengantarkannya ke toko buku. Dan aku tidak pernah menolaknya.

        Aku menyukai Aldo yang seperti itu. Aku senang ia gemar belajar dan membaca walau terkadang ia terlihat tidak mempedulikanku saat sedang serius dengan bacaannya. Tapi kan sudah aku bilang, aku terlalu menyayanginya.

        Beberapa sahabat perempuanku menyayangkan keputusanku untuk tetap bertahan bersama laki-laki seperti Aldo. "Del, lo cantik. Lo baik. Siapa sih yang nggak suka sama lo? Lo berhak dapet cowok yang lebih baik dari dia, yang lebih bisa ngertiin dan ngasih perhatian lebih sama lo. Ngga kayak dia yang selalu fokus sama pelajaran. Lo ngga sakit hati kalau dia lebih fokus sama bukunya?" Sakit. Tentu saja. Kadang aku sedih dengan cara Aldo memperlakukanku, seolah-olah aku bukan pacarnya. Aldo terkadang lebih banyak diam dan bersikap dingin. Ia juga bukan laki-laki yang romantis. Tidak ada bunga yang tiba-tiba datang. Tidak ada obrolan panjang di telfon pada saat tengah malam hanya untuk bilang 'aku sayang kamu'. Aldo bukan orang yang seperti itu.

        Bentuk perhatian lebihnya adalah membawakan barang-barangku. Membukakan pintu untukku. Dan melindungiku. Kadang aku mencium perlakuan protektifnya padaku. Tapi ia jarang sekali menyentuhku. Pernah suatu waktu ia menjelaskan alasannya padaku, "Aku sayang sama kamu. Sayang banget. aku siap melindungi kamu dan selalu ada di saat kamu butuhin aku. Aku nggak mau nyentuh kamu sembarangan, aku menghargai kamu sebagai wanita dan sebagai perempuan yang aku sayang." Aku hampir menangis mendengar perkataannya yang seperti itu. Saat itu aku baru sadar bahwa ia bersedia menjagaku, melindungiku walaupun ia tidak pernah menyentuhku, itulah cara dia menghargaiku. rasa-rasanya aku mulai mengerti bahwa sebenarnya Aldo sangat menyayangiku, terbukti dengan perlakuannya yang seperti itu. Dia sayang padaku, jadi dia tidak mau menyentuhku sembarangan. Kalimat itu menari-nari dalam benakku dan kini aku benar-benar memahami maknanya. Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak bisa bahagia bersama Aldo.

        Aku tidak peduli perkataan orang orang. Aku tau Aldo luar dalam lebih dari siapa pun. Aku yang tau rasa sayang dia padaku seperti apa. Aku dan Aldo yang menjalani hubungan ini jadi yang tau bahwa aku bahagia atau tidak hanya kami. Dan aku bahagia, bahkan jika hanya dengan duduk di samping Aldo dalam diam. 

                                                                   
                                                                       ********

        Aku membuka pintu sebuah cafe untuk anak muda yang terkenal di kotaku. Bunyi bel terdengar begitu aku memasuki cafe tersebut. Ucapan selamat datang dilontarkan oleh salah satu waitress di sana. Aku melihat sekeliling berusaha mencari Aldo yang sudah janjian denganku di sini. Suasana cafe masih sepi karena baru pukul sepuluh pagi. Jadi aku tidak kesulitan menemukan Aldo yang tengah duduk di salah satu kursi yang menghadap ke taman depan cafe tersebut. Ketika Aldo melihatku, ia tersenyum tipis dan melambaikan tangannya padaku. Aku menghampirinya.

        "Lama nunggu?" Tanyaku begitu aku sudah duduk di depannya.

        Aldo menggeleng, "Nggak kok. Aku baru aja sampe lima belas menit yang lalu." Katanya sambil nyengir, cengirannya yang khas. Yang selalu aku sukai. "Aku udah pesen minum buat kamu. Ice lemon tea dengan gelas tinggi dan jangan terlalu asam." Aku tersenyum. Aldo memang yang paling mengerti.

       "Makasih. Maaf ya tadi aku kelamaan milih baju. Aku selalu bingung mau pake baju apa biar aku cantik di depan kamu." Ujarku jujur sambil tertawa.

        Raut wajah Aldo berubah menjadi datar, nyaris tanpa ekspresi. Kemudian perlahan-lahan senyumnya yang kalem dan raut wajahnya yang teduh kembali lagi. Ia berkata sambil meremas tanganku, "Kamu selalu cantik kok. Aku nggak peduli dandanan kamu kayak gimana, tapi aku suka kamu yang apa adanya. Aku suka kamu yang sederhana, that's all."

        Aku mengulum senyum. Aku berani bertaruh, pasti saat ini rona merah sudah menjalari pipiku. Pujian Aldo dan genggaman tangannya membuatku merasa deg-degan, namun aku menikmatinya. Untuk ukuran laki-laki seperti Aldo yang jarang memegang tanganku, merangkul, apalagi memelukku membuat jantungku deg-degan setiap kali dia menyentuhku.

        Beberapa saat kemudian minuman kami datang. Kami mengobrol lama hari itu dan aku tertawa pada setiap candaan yang Aldo berikan. Memang, terkadang Aldo bersikap kaku dan kelihatan seperti canggung. Namun aku merasa bahwa ia memiliki kehangatan tersendiri dari setiap caranya berbicara, semua perkataannya, juga pandangannya yang teduh. Ah, dia laki-laki yang baik.

        Ketika hari sudah agak siang dan aku mengatakan aku harus segera pulang untuk mengantarkan ibuku pergi, Aldo menarik tanganku dan berkata. "Tunggulah sebentar di sini. Aku mau nunjukin sesuatu sama kamu."

        Aku tercenung sementara Aldo mengaduk-aduk isi ranselnya. Kemudian tangannya mengeluarkan sebentuk kotak kecil dari dalam tasnya. Kotak itu seperti tempat menyimpan cincin, atau itu memang tempat menyimpan cincin. Aku tidak tahu. Aku diam seribu bahasa. Pandanganku terus menerus terpaku pada kotak yang dipegang Aldo sementara pikiran-pikiran negatif mulai berkeliaran di benakku. Mungkinkah Aldo ingin menunjukkan cincin itu, cincin yang akan dia berikan pada perempuan lain? Apa dia sudah bosan padaku? Atau bosan mendengar perkataan-perkataan yang tidak menyenangkan dari mulut orang-orang di sekitar kami tentang hubungan kami? Jadi dia memutuskan untuk menyelesaikan semuanya di sini? Tiba-tiba mataku terasa panas. Aku tidak ingin kehilangan dia di sini, sekarang. Tidak sekarang. Aku menyayanginya.

        Aldo kemudian kembali menggenggam tanganku, menatap mataku dalam-dalam. Aku balas menatapnya, sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi di sini. Air mataku sudah akan keluar tapi aku tahan sebisa mungkin.

        "Ini buat kamu. Dibuka ya..." Aldo menumpukan kotak itu dalam genggaman tanganku.

        Aku masih bingung, namun tidak urung juga membuka kotak itu. Mataku melebar ketika melihat isinya. Cincin. Berwarna perak yang memantulkan cahaya di sekelilingnya, seperti kaleidoskop. Cincin itu sangat sederhana, tanpa hiasan berlian atau batu atau hiasan lain yang tersemat di atasnya. Benar-benar polos dan sederhana namun indah karena ini dari Aldo, indah karena ia istimewa.

        "Ini buat kamu, bukti bahwa aku serius sama kamu. Bahwa aku benar-benar sayang sama kamu. Bahwa aku nggak peduli sama omongan orang-orang yang buruk tentang kita. Karena yang terpenting adalah kita bahagia dengan kita yang kayak gini. Aku janji aku bakal terus jagain kamu sebisa mungkin, dan ada terus buat kamu. Aku sayang kamu, Della." Ucap Aldo sambil menyematkan cincin itu di jari manis tangan kananku.

        Pundakku bergetar dan kali ini aku tidak kuasa menahan desakan air mataku keluar. Air mata bahagia dan tenang karena perasaan haru dan nyaman ini memelukku dengan begitu erat. Perasaan seperti kamu telah menemukan orang yang tepat untuk kamu.

        Ketika aku mendongakan kepalaku dan menatap wajah Aldo, pipiku sudah sangat basah oleh air mata. Namun aku tersenyum. Tanpa disangka orang seperti Aldo yang selalu bersikap dingin bisa juga seperti ini. Bahkan mungkin hal paling romantis yang pernah aku alami. Aku memang tidak pernah salah memilih untuk bertahan dengannya.

        Memang terkadang menuruti perkataan orang lain tidak pernah akan ada habisnya. Saat ini aku hanya ingin menuruti kata hatiku saja, dan kali ini kata hatiku membawaku menuju cinta yang berlabuh pada Aldo. Aku tidak akan menolak perasaan ini.

        "Boleh peluk?" Lihat, ia bahkan meminta izin sebelumnya untuk memelukku.

       Dengan mata basah oleh air mata, aku mengangguk. Ia mendekapku erat dan saat itu aku tahu ia tidak akan melepaskanku sedikit pun, tidak akan membiarkan aku tersakiti oleh siapa pun. Perasaan nyaman dan dipenuhi oleh rasa bahagia mengitariku. Seribu satu ledakan emosi dan euforia total membuat air mataku terus menderas membasahi pundaknya.

        Aku menyayanginya walaupun ia lebih sering bersikap dingin dan kaku. Aku menyayanginya walaupun ia selalu sibuk dengan buku-bukunya dan acara osisnya sehingga jarang mempunyai waktu untukku. Walaupun ia terlalu sibuk sehingga seringkali seperti mengesampingkan aku. Aku tidak peduli. Aku menyayanginya. Bukan karena dia membuatku merasa spesial. Bukan karena dia pernah menyebutku gadis paling manis dan sederhana yang pernah ia temui. Aku bahagia bersamanya dan aku tidak butuh alasan lain untuk itu. 

        Dia memang orang yang aku cari, aku sayangi. Dia untukku.