Jumat, 21 Februari 2014

Apa Kabar, Kamu?



Hai, apa kabar kamu sekarang di sana?
Tidak terasa ya, sudah berbulan-bulan kita tidak bertegur sapa. Sudah berulan-bulan pula saya tidak mendengar suara berat kamu yang selalu saya suka. Rasanya aneh melewati hari tanpa kamu. Hampa, kosong, waktu terasa berjalan begitu lama ketika kamu tidak di samping saya. Pada hari-hari awal ketika kamu mengucapkan selamat tinggal, rasanya begitu berat. Rasanya saya tidak mau dan tidak mampu melewati detik demi detik dalam setiap harinya. Rasanya bahagia saya hilang begitu saja, namun bagaimana pun saya harus tetap menjalani hari seperti biasanya kan? Seperti yang kamu mau, saya berusaha lakukan itu. Bersikap sebiasa mungkin, seolah-olah tidak kehilangan, padahal sepi begitu membuat saya sesak.
Saya ingin tahu, bagaimana keadaan kamu kini tanpa saya? Apakah sama tersiksanya seperti saya? Ataukah kamu bahagia karena bisa terlepas dari saya? Apapun itu, saya selalu doakan yang terbaik untuk kamu, dan untuk kita.
Saya tidak bisa menjelaskan perasaan saya sekarang. Perasaan hampa, jiwa saya seperti tidak di tempatnya. Jika kamu ingin tahu, setiap paginya saya selalu berharap bisa bertemu pandang denganmu di parkiran sekolah dalam seragam putih abu-abu sekolah kita. Atau mungkin kita bisa bertemu di masjid ketika jam istirahat? Dan kamu tidak bisa mengerti betapa bahagianya saya hanya dengan melihat kamu tertawa di tengah-tengah gerombolan temanmu, walaupun kamu sama sekali tidak memandang ke arah saya, walaupun kamu sama sekali tidak menyadari kehadiran saya, atau pura-pura tidak sadar, saya bahagia. Karena satu-satunya yang saya butuhkan adalah dekat denganmu, jadi tolong jangan berusaha menjauh. Baru  saya sadari, saya yang terlelap setelah seharian menunggu pesan singkat darimu, meskipun saya menyadari betul bahwa namamu tidak akan tercantum pada layar ponsel saya, saya tetap selalu menunggu. Saya akan tetap selalu ada di sini untuk kamu, seperti janji saya dulu.
Rasa rindu ini begitu nyata. Saya bisa merasakannya, perlahan-lahan menguras air mata ketika saya mengenang saat-saat kita bersama dulu. Saya rindu ucapan selamat pagi darimu, rindu kamu yang ucapkan selamat tidur dan jadikan setiap malam indah, saya rindu tatapan mata kamu yang teduh dan kalemnya senyuman kamu. Saya rindu wangi jaketmu, saya rindu segala hal tentang kamu, segala hal menyenangkan yang pernah kita lalui bersama.
Kadang saya memohon pada waktu, agar kamu bisa kembali pada saya. Tetapi yang membuat pedih adalah sang waktu tidak membawa saya kembali pada masa-masa menyenangkan itu, bahwa ia tidak mau mengerti begitu menyedihkan dan sulit masa yang saya hadapi sekarang tanpa kamu.
Saya selalu bertanya-tanya dalam hati, apakah kamu larut dalam rindu yang sama dengan saya? Ataukah justru kamu bahagia tanpa hadirnya saya? Pernah tidak saya, sekali saja, terlintas dalam pikiran kamu? Jika kamu menanyakan hal yang sama, kamu telah melontarkan pertanyaan konyol, bahkan kamu selalu berdiam dalam pikiran saya dan tidak mau pergi.
Jika saya masih ingin di sini, menunggu kamu yang entah akan kembali atau tidak, apakah saya salah? Jika saya masih ingin berharap dan merindu, bolehkah?
Pernah suatu kali saya mencoba melupakan segala tentang kamu dan melepaskan bayang-bayang kamu, namun ketika saya kembali menatap wajahmu, meskipun itu hanya sekilas, hati saya berontak. Mata saya memanas, dan perasaan itu hadir kembali. Sudah berbulan-bulan saya berusaha melupakan kamu, sudah berbulan-bulan saya meyakinkan diri sendiri bahwa kamu sudah tidak berarti apapun bagi saya. Namun begitu sosok kamu muncul lagi di hadapan saya, ternyata hati saya membantah, saya masih mencintai kamu dan rupanya perasaan ini tidak bisa hilang begitu saja, bahkan oleh waktu. Jadi saya menyerah untuk mencoba membuang segala pikiran tentang kamu. Saya hanya bisa membiarkan segala sesuatunya berjalan apa adanya.
Saya selalu berharap semoga kita dipertemukan kembali dalam suatu waktu yang lain, jika tidak sekarang. Membawa rasa yang sama seperti berbulan-bulan yang lalu, karena hanya nama kamu yang masih tertambat dalam hati saya, bahwa ternyata perasaan saya terhadap kamu belum berubah. Maafkan saya jika saya sudah lancang mencintai kamu sebesar ini, jangan salahkan saya. Saya tidak keterlaluan, perasaan inilah yang sebenarnya terlalu.
Saya hanya bisa berdoa bahwa suatu saat nanti akan ada jalan yang bisa membawa kita bersama kembali, kadang saya merasa begitu naif dan egois mengharapkan segalanya kembali seperrti dulu, padahal saya tahu bahwa segalanya tidak akan pernah sama lagi. Maafkan saya, ya.
Saya rindu kamu.

Sabtu, 18 Januari 2014

Single Fighter

Gue nggak tau pasti kenapa gue milih topik ini buat dibahas di postingan kali ini. Gue cuma dapet pencerahan karena baca beberapa tweet dari temen-temen gue dan beberapa karena pengalaman pribadi juga sih sebenernya haha. Yang mau gue bahas adalah tentang 'single fighter' atau pejuang tunggal yaah bisa dibilang juga orang yang berjuang sendirian. sooooo ini dia!

"Terus, apa gunanya aku ada di sini kalo nggak diperjuangin?" atau "Buat apa terus-terusan berjuang sendirian, cape kali lama-lama." Yup, kita-kita pasti nggak asing sama tweet-tweet kaya begituan setiap scroll time line. Pasti aja ada tweet kayak begitu atau semacamnya tentang kegalauan seseorang yang kalo kata mereka, mereka itu nggak dianggap padahal udah bener-bener berjuang mempertahankan hubungannya dengan si doi.
Sekarang, gue mau mencoba memposisikan diri gue sebagai seseorang yang berjuang sendirian itu. Sakit pasti, udah jelas sih itu mah. Kita ada, tapi seperti dianggap nggak ada. Padahal kita udah berjuang mempertahankan hubungan kita dengan si dia tapi 'dia'-nya sama sekali nggak menggubris perjuangan kita bahkan yang lebih parahnya lagi kalo si dia nggak menggubris kehadiran kita. Akhir-akhirnya sih balik lagi deh ke pertanyaan, "jadi buat apa gue bertahan kalo lo bahkan nggak menghargai kehadiran dan perjuangan gue?"
Kadang-kadang, orang yang sedang terjebak di keadaan berjuang sendirian ini jadi serba salah. Semua rasanya bikin nyakitin. Mau tetap berjuang, bikin sakit karena perjuangan kita yang udah mati-matian nggak dianggap sama dia, bahkan dia cenderung nggak peduli sama kelanjutan hubungannya. Terus, kalo mau ngelepasin karena kita udah terlalu lelah untuk berjuang sendirian plus nggak dianggap juga nyakitin. Alesannya sih masih sayang, nggak bisa lepas dari dia, terlalu banyak kenangannya... pokoknya segala macam alesan yang bikin kita tetap bertahan walaupun udah disakitin entah berapa kali. Pokoknya intinya ada di posisi itu tuh sama sekali nggak enak, percaya deh.

Selasa, 31 Desember 2013

Aku Masih di Sini

Lucu. Seperti baru kemarin rasanya aku melangkah di bawah titik-titik gerimis bersamamu. Menikmati setiap guyuran air hujan yang membasahi rambut kita. Tidak peduli akan air yang terus menetes dari baju kita. Selama aku denganmu, semua terasa membahagiakan. Semua terasa menyenangkan. Semua terasa baik-baik saja. Karena hanya bersamamulah hidupku terasa berwarna. Kamu bukan hanya mewarnai hariku, tapi lebih dari itu, kamu menghidupkan hariku.
Dulu, aku merasa menjadi gadis paling berbahagia. Menjadi orang yang paling beruntung karena telah memiliki kamu untuk menceriakan setiap detik hidupku. Dulu, aku merasa kita adalah dua orang paling berbahagia, paling melengkapi satu sama lain, dan aku merasa kita tidak akan terpisah sedikit pun darimu. Ternyata pemikiran seperti itu sama sekali salah, dan fatal apabila aku selalu menganggap bahwa kamu akan ada terus di sini bersamaku. Ternyata semua bisa berubah. Ternyata semua tidak selalu berjalan seperti apa yang kuharapkan, seperti apa yang aku kehendaki.
Ketika kamu memutuskan untuk pergi, semua duniaku terasa kembali gelap. Semua warna cerah yang dulu sempat kamu torehkan luntur, berubah menjadi campuran warna-warna tidak jelas. Buram, abstark, tidak lagi dapat kunikmati. Aku berusaha mencegah warna cerah itu agar tidak luntur, di lain waktu aku berusaha kembali mencari-cari sesuatu agar warna itu bisa kembali seperti dulu, mengecat ulang dengan harapan-harapan yang ada namun lambat laun aku sadar; semua usahaku tidak akan pernah bisa membantu mengembalikan semuanya seperti dulu. Hanya dengan hadirnya sosokmu-lah yang bisa membawa keadaan sama seperti dulu.
Lucu. Seperti baru kemarin kamu berjanji untuk tetap ada di sampingku dalam keadaan apapun, seperti baru kemarin kamu berjanji untuk tetap membagi duniamu denganku. Seperti baru kemarin kamu berargumen, mengatakan padaku agar tidak perlu khawatir karena kamu akan selalu ada di sini. Namun kini rasanya semua perkataanmu sudah sangat usang, buktinya kamu bahkan tidak peduli ketika aku menangis, meraung-raung meminta agar kamu tetap bertahan di sini. Kamu tetap pergi kan?
Aku masih ingat cara kamu membahagiakan aku tetapi sedetik kemudian kamu membuat aku menangis. Dulu kamu menganggap aku segalanya tetapi rasanya sekarang aku bukan apa-apa bagimu. Kamu ada tetapi kemudian kamu pergi. Kamu bilang ini cinta, kamu bilang aku milikmu dan kamu milikku, jadi aku bertahan.
Kamu tau rasanya terjebak dalam keadaan dimana kamu harus merelakan orang yang kamu sayang untuk pergi? 
Kini, aku hanya bisa merindu sendiri karena aku tahu kamu di sana, tidak merasakan rindu yang sama denganku. Rindu tertawa bersama dengamu, rindu jemariku kamu genggam, rindu pelukan hangat setiap bertemu, rindu wangi jaketmu, rindu menatap matamu, aku rindu akan masa lalu. Dan yang menyakitkan adalah mungkin aku tidak bisa mengulanginya lagi, dan sudah pasti tidak bisa kembali pada masa-masa paling bahagia itu.
Kamu hanya tidak mengerti seberapa berartinya kamu bagiku. Jadi, aku tetap bertahan di sini meskipun ini menyakitkan, aku tetap menunggu kamu datang kembali untuk menghidupkan kembali hari-hariku. Aku hanya menyesal mengapa tidak bisa menahanmu lebih keras untuk tetap bertahan, aku hanya menyesal karena tidak bisa melewati lebih banyak waktu bersamamu. Aku hanya karena menyesal kita terlalu mementingkan ego masing-masing sehingga kamu memutuskan untuk pergi. Sekarang sesal tinggal sesal dan tidak akan membuat segalanya kembali utuh.
Kamu hanya perlu mengerti beberapa hal. Jika aku jatuh cinta lagi kepada orang lain, itu tidak akan pernah sama dengan ketika aku mencintaimu. Bahkan jika aku menghabiskan waktuku penuh bersama orang yang baru, itu tidak akan terasa sama dengan ketika aku menghabiskan detik demi detik dalam hidupku bersamamu.
Aku merindukanmu setiap hari, setiap waktu dan kamu tidak bisa membayangkan betapa itu menyakitkan untukku karena aku tau bahkan kamu tidak pernah merindu padaku.
Sudah, terlalu banyak harapan terlalu banyak kecewa yang aku rasa. Sekarang aku hanya ingin bertahan pada keadaan ini karena aku tidak tau lagi apa yang harus aku lakukan, semua telah kuupayakan agar membuatmu kembali tapi kamu tetap tidak mau peduli. Aku masih di sini jika kamu butuh aku.

Rabu, 25 September 2013

Biarkan Aku Bahagia

Kamu tahu bagaimana rasanya menyukai seseorang namun kamu hanya bisa memandanginya saja? Kamu tahu bagaimana sakitnya itu? Kamu mengerti bagaimana perasaan orang-orang yang perasaannya tidak pernah digubris oleh orang yang ia sayangi? Kamu paham betapa tidak enaknya perasaan itu? Aku paham, aku paham betul mengenai itu.

Dahulu rasanya tidak pernah ada sedih, tidak ada pernah luka, hari-hariku berjalan tanpa rasa sakit. Hanya bahagia saja yang aku rasakan, begitu bahagianya sampai-sampai aku takut jika bahagia itu akan hilang sebelum aku merasakan seutuhnya. Sayang itu hanya dulu. Kata dulu membuatku sakit, memiliki definisi yang sulit dan aku benci mengingatnya karena aku tahu bahwa aku tidak pernah kembali ke masa-masa itu dan selamanya tidak pernah bisa merasakan perasaan nyaman yang menyelubungiku ketika aku bersamamu.

Sudah lama sekali rasanya kita tidak bertegur sapa di pagi yang sejuk di lapangan parkir sekolah kita. Mengenakan setelan putih abu-abu sambil berbicara dengan malu-malu. Mata orang-orang mengawasi tapi kita tidak peduli, yang kita pikirkan saat itu hanyalah kita, hanyalah bahagianya saat menjadi 'kita'. Atau ketika jam pulang sekolah tiba, kamu menungguku di motor besarmu, bertanya apakah aku mau kau antarkan pulang dan aku mengangguk dengan malu-malu. Begitu bahagianya saat-saat seperti itu.

Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali kamu membawakan buku-buku yang aku dekap, atau membukakan pintu untukku dan menyelipkan helai-helai rambut di belakang telingaku. Hanya bentuk perhatian kecil tapi sungguh itulah yang membuatku benar-benar merasa merindu.

Telfon tengah malam darimu yang selalu diakhiri dengan ucapan selamat tidur terasa seperti suatu lagu nina bobo untukku. Begitu aku terlelap, aku tidak takut untuk tidur karena aku tahu bahwa besok aku akan menemukan kebahagiaanku lagi dengan bersamamu. Tapi apakah itu akan terus-menerus berjalan? Apakah kamu akan selalu ada untukku apa pun yang terjadi?

Betapa selama ini aku merasa bahwa aku adalah orang yang akan kau bagi segalanya, yang akan kau curahkan perhatianmu, yang akan kau jaga, yang akan kau lindungi sepenuh hati. Aku berharap semua harapanku terjadi, tercapai. Namun kenyataan tidak sejalan dengan keinginan.

Rotasi bumi rupanya menghentikan kita. Detik-detik berharga yang aku habiskan bersamamu seperti menguap begitu saja, begitu cepat tanpa menyisakan sisa bahkan hanya untuk dikenang. Semua bentuk perhatianmu, Ucapan-ucapan manis pada pesan teks yang kita tukar setiap saat hanyalah bualan, hanyalah omong kosong ketika kamu dengan tiba-tiba, dengan tanpa perasaan meninggalkanku begitu saja tanpa kita sempat memulai suatu apapun. Tanpa kamu sempat menyatakan tiga kata itu padaku.

Getar-getar yang dulu aku rasakan sekarang hancur, rusak, berantakan, pecah, terpotong-potong, tidak pernah bisa bersatu kembali kecuali dengan hadirnya kamu di sini. Mengapa kamu semudah itu meninggalkan aku, meninggalkan segala sesuatu yang dulu pernah kita alami bersama? Mudahkah bagimu untuk menghapuskan namaku pada hatimu? Mudahkah bagimu untuk menata kembali hatimu dan menyerahkannya pada orang lain? Semudah itukah sementara aku di sini, bersusah payah, berderai-derai air mata yang aku keluarkan hanya untuk melupakan kamu. Begitu sulit bagiku, begitu sakit.

Mungkin dari awal semua itu tidak pernah berharga bagimu. Mungkin dari awal aku yang salah karena terlalu cepat dan terburu-buru mengartikan perhatian kecil yang kamu berikan sebagai tanda perasaan lebih, mungkin aku terlalu besar rasa menganggap kamu rasakan yang sama sepertiku. Mungkin aku terlalu......

Bodohnya aku tidak menyadari di luar sana banyak bisa membuatmu lebih bahagia, banyak yang membuatmu lebih tertarik, bukan seperti aku yang serba kurang, bukan seperti aku yang tidak sempurna. Aku hanya adik kecil bagimu, yang bisa kau ajak bercerita jika kamu sedang bosan, yang hanya bisa kau ajak menemanimu ke toko buku ketika penggemar-penggemarmu yang lain tidak bisa kau ajak.Fungsiku hanya sebatas itu. Namun, ini memang jalanmu. Kamu yang berhak menentukan, sekeras apapun aku memanggil namamu untuk kembali, sekuat apapun aku meneriaki namamu untuk tidak pergi namun kamu tetap akan pergi bukan? Kamu tetap akan meninggalkanku bukan? Lalu untuk apa lagi aku memperjuangkanmu?

Aku sudah terlalu pasrah, kamu tahu? Kamu pikir menyenangkan ketika melihat kamu bercanda dan tertawa dengan dia di sudut lapangan sekolah kita? Kamu pikir mudah untuk menyembunyikan air mata yang selalu tiba-tiba berlinang ketika kamu memboncengi dia? Kamu pikir mudah untuk terlihat kuat padahal di saat yang sama aku benar-benar ingin berteriak, ingin menangis, apa pun asal aku bisa menghilangkan perasaan sakit hati ini. Ini sama sekali tidak mudah, kamu tahu. Setiap hari aku hanya berusaha menguatkan diri sendiri, hanya tidak ingin terlihat lemah di hadapanmu. Sulit ketika harus berpura-pura kuat di hadapan orang yang kamu cinta, harus berpura-pura baik-baik saja, harus berpura-pura sudah tak ada rasa, harus berpura-pura bahwa kamu sudah lupa. Sulit ketika harus menutupi perasaan sendiri, namun aku berusaha. Demi hatiku dan kebahagiaanmu.

Bisakah sekali saja kita kembali pada masa-masa dulu? Aku ingin kita yang bahagia. Walaupun rasanya terlalu naif menginginkan semua berjalan sesuai apa yang kuinginkan, biarlah aku egois satu kali saja untuk bisa menghabiskan waktu denganmu lagi, sebentar saja. Biarkan aku bahagia walaupun hanya untuk beberapa saat.

Senin, 16 September 2013

Terlalu cepat

Di pertengahan malam seperti ini sudah seharusnya anak sekolahan seperti diriku berada di tempat tidur. Berselimut dan mengistirahatkan badan serta pikiran yang sudah seharian dikuras oleh lelah dan penat. Bersiap untuk hari esok yang pastinya akan melelahkan. Salahku jika pada waktu selarut ini aku belum juga ingin naik ke tempat tidur dan memejamkan mata. Aku hanya menunggu kantuk itu datang seperti menunggu pesan singkat darimu yang selalu membuatku merasa terbang.

Saat menulis ini, perasaanku tidak menentu. Aku menunggu dan terus menunggu bbm darimu, menantikan kabarmu yang belum kudengar hari ini. Menantikan teks bbm-mu yang mampu membuatku tertawa dan tersipu. Aku menduga-duga mengapa sampai selarut ini kau belum juga mengabariku. Terlalu sibukkah untuk mengetik satu dua patah kata untukku? Terlalu lelah untuk menatap layar ponselmu? Sudah tidurkah? Atau bahkan malas? Aku menyesal telah menduga-duga karena itu membuat perasaanku tidak enak, membuat rasa takut merayapi hatiku.

Perasaan ini aneh. Aku tidak berani menyebutnya perasaan cinta karena aku baru mengenalmu beberapa minggu yang lalu. Secepat itukah aku harus menyimpulkan bahwa setiap getar yang kurasa ini adalah perasaan ingin memiliki? Terlalu baru dan cepat untukku.

Aku hanya ingin bernostalgia sebentar, mengingat kembali masa-masa perkenalan kita. Aku mengenalmu dari jejaring sosial twitter. Seorang kakak kelas, kelas dua belas. Kubuka foto profilemu. Tubuh tinggi dan berisi, rambut gondrong yang sedikit berantakan namun terdapat kesan cool, senyum yang lebar, behelmu terlihat jelas. Aku tersenyum dan berpikir dalam hati bahwa kamu laki-laki yang manis. Aku menekan tombol follow tanpa berharap kamu akan menyadari bahwa ada adik kelas yang tidak kamu kenal mem-follow-mu, tanpa berharap bahwa kamu akan balik mem-follow aku. Tidak pernah berharap untuk bisa mendapat satu pesan singkat darimu.

Namun tanpa aku sangka, kamu mem-follow-ku tanpa kuminta dan ketika kulihat direct message, terdapat satu pesan singkat darimu yang menanyakan identitasku. Aku mencoba tenang dan menjawab bahwa aku adalah adik kelasmu. Kamu menanyakan beberapa hal lainnya dan kita mulai berbincang lewat dunia maya itu. Awalnya perbincangan kita hanya sebatas kurikulum baru, ekskul-ekskul di sekolah, dan perasaanku menjadi anak sma baru. Tapi kemudian kita bertukar pin dan semua rasanya terjadi begitu cepat.

Kamu tidak pernah absen untuk mengucapkan selamat pagi, selamat malam, selamat tidur. Menyemangatiku ketika besok harus bangun pagi-pagi sekali untuk pergi ke sekolah. Semua itu membuatku merasa spesial dan akhirnya aku selalu menunggu ucapan selamat darimu setiap harinya. Dan seringkali merasa konyol ketika aku tidak bisa tidur karena belum membaca ucapan selamat tidur darimu. Aku tertawa pada setiap pesan singkatmu di bbm, merasa gundah ketika kamu lama membalas bbmku, mengirimkan banyak 'PING' agar kamu bisa cepat membalas bbmku dan tersenyum lega ketika namamu ada di layar ponselku.

Lalu suatu hari kamu kemudian mengajakku bertemu di lapangan parkir sekolah. Aku menunggumu di sana, masih dalam seragam putih dan rok panjang abu-abu. Masih dengan ransel sekolahku yang talinya kusampir di pundak. Lalu kamu datang, sebentuk wajah yang sudah sering aku lihat di foto. Kamu tersenyum, seragam putih abu-abu yang kau kenakan terlihat pas di badanmu yang tinggi semampai. Kamu memintaku untuk mengantarkanmu pergi ke toko buku. Aku naik motormu, merasa bebas dan bahagia. Kita menghabiskan sisa hari itu dengan tertawa dan mengobrol bersama tanpa ada rasa canggung sedikitpun walaupun saat itu aku sedang menghabiskan waktu dengan seorang kakak kelas yang baru kukenal, yang baru aku temui hari itu.

Aku merasa nyaman denganmu dalam setiap hari-hari yang kita lewatkan bersama. Perasaan aman selalu ada ketika kamu mengantarku pulang dengan motor besarmu, menderu-deru dan aku mencondongkan badanku untuk bisa tetap mengobrol denganmu di motor, betapa rasanya waktu berjalan sangat cepat ketika kulewatkan denganmu, betapa rasanya satu detik pun terlalu berharga untuk kulewati tanpamu.

Aku bahagia bisa seperti ini, merasakan perasaan bahwa kamulah satu-satunya orang yang kuinginkan dan kuharapkan. Saat ini rasanya aku sudah terlanjur jatuh hati pada kakak kelasku ini. Kakak kelas yang dengan candanya mampu membuatku merasa lebih baik, mampu membuatku semangat untuk bersekolah, dan menjadi kesenanganku di masa putih abu-abu ini. Aku terlalu bahagia dengan semuanya dan kadang merasa takut jika kebahagiaanku hilang ketika aku belum sempat merasakan seutuhnya. Aku takut kebahagiaan itu hilang karena kamu tidak kunjung memintaku untuk menjadi sesuatu yang berharga, seseorang yang kamu harapkan dapat mewarnai hitam putih hidupmu, seseorang yang kamu harapkan bisa menjadi yang kamu sayangi setulusnya.

Rasanya aku tak pernah ingin kehilangan kamu, bahkan membayangkannya pun aku terlalu takut. Aku tidak pernah ingin membayangkan seseorang yang benar-benar kuinginkan pergi tanpa sempat memulai suatu apa pun. Namun rasanya kamu juga tidak kunjung paham bahwa aku menunggumu menyatakannya padaku, menunggumu untuk menggenggam jari-jemariku dan membuatku merasakan aku orang yang paling beruntung. Bahwa kamu tidak pernah mengerti bahwa hanya dengan ucapan selamat tidur darimu saja sudah membuatku merasa menjadi orang yang paling bahagia.

Tolong, jangan menyiksaku dengan rasa dan rindu ini. Aku ingin merangkak, keluar dari lubang ini namun terlalu sulit. Aku sudah jatuh terlalu dalam, dan kamu tidak mau menunjukkan jalan keluarnya. Aku hanya merasa bahwa kamu adalah segalanya yang kuinginkan sekaligus yang tidak bisa kumiliki dalam hidupku.
Meski berjuang keras untuk melupakan, untuk melepaskan, untuk tidak memikirkan namun setiap melihat senyum itu aku selalu sadar bahwa aku benar-benar merindu. Di sini, di tempat yang sama dengan rindu yang semakin menumpuk.

Mungkin terlalu cepat untuk bilang bahwa ini adalah cinta. Tapi kenyataannya adalah inilah yang aku rasakan setiap kali aku melihat wajahmu dan mendengar namamu disebut. Cinta, mungkin terlalu terburu-buru tapi aku mendengar hatiku berteriak bahwa perasaan ini memang cinta.

Selasa, 13 Agustus 2013

Dia Untukku

        Aku berjalan sambil menggenggam pinggiran baki berisi dua piring spageti serta dua teh kotak. Aku harus berjalan dengan berhati-hati jika tidak ingin tersandung kaki  murid lain di kantin. Maklum, saat iu memang jam istirahat dan seperti biasanya kantin selalu penuh.

        Aku menghampiri meja di sudut kantin lalu menaruh baki beserta isinya ke atas meja tersebut. Seorang lelaki yang duduk di sana mengalihkan pandangannya dari buku catatan yang sedari tadi ia baca sehingga tidak menyadari kedatanganku. Ia tersenyum tipis dan menarik kursi kosong yang ada di sebelahnya dan menyuruhku untuk duduk di sana.

        "Nih, aku bawain spageti." Ucapku sambil menyodorkan sepiring spageti dengan keju serta daging yang menggunung di atasnya.
 
        Sesaat laki-laki itu mengernyitkan dahi. "Bukannya tadi kamu bilang cuma mau beli teh kotak?"

        Aku tertawa, "Iya. Tapi aku laper jadi aku beli spageti, sekalian aku beliin buat kamu."

        Laki-laki itu tersenyum lembut, "Lain kali kalo kamu kesusahan bawa banyak makanan atau benda kamu panggil aku, aku kan bisa bantuin kamu."

        "Tapi ini nggak berat kok, buktinya aku bisa sampai di sini tanpa ngejatuhin piring atau bakinya kan?" Aku terkekeh.

       "Lagian kenapa nggak minta  ibu kantin yang nganterin ke sini aja sih? Kalo sampe jatuh kan gawat. Kepala kamu bisa kebentur, belum lagi baju seragam kamu nanti kotor gara-gara saus spageti."

        Aku mendesah. "Aldo.... Aku nggak bakal apa-apa kok. Kamu nggak usah terlalu khawatir ya?"

        Lelaki di hadapanku itu menatapku dalam-dalam dan mengangguk. Kemudian sambil tersenyum ia membelai rambutku sekilas. Aku ikut tersenyum. Kami menghabiskan makanan kami dalam diam. Aldo mulai membuka buku catatannya lagi dan membacanya sambil sesekali memasukan gulungan spageti ke dalam mulutnya.

        Namaku Lisa dan lelaki yang ada di hadapanku ini Aldo. Ia pacarku sekaligus sahabatku serta saudara laki-lakiku. Aku menganggapnya begitu karena aku ingin memiliki hubungan yang selalu dekat dengan Aldo. Bukan hanya sebatas pacar, tapi persahabatan dan persaudaraan juga ada dalam hubungan kami.

       Saat ini aku dan Aldo sudah kelas dua belas. Kami berpacaran sejak kelas sebelas awal. Banyak bahagia dan sedih yang aku lewati saat bersama dia. Pada awal-awal pacaran aku sempat kaget dan sakit hati karena menghadapi perangainya yang cepat berubah. Terkadang ia perhatian, menunjukan sikap protektif padaku yang bahkan terkadang agak berlebihan tapi dia juga sering bersikap cuek dan dingin. Itu yang membuatku sakit hati.

       Namun lambat laun rasanya kami mulai bisa saling memahami. Ia juga tidak lagi bersikap cuek padaku, setidaknya tidak sesering dulu. Kami sempat putus satu kali kemudian ia mengajakku untuk berbalikan. Katanya ia masih sayang dan aku juga belum bisa menghilangkan bayangan senyumnya dalam benakku. Akhirnya kami berbalikan setelah berhari-hari mataku memerah karena menangis semalaman. Aku sering malu mengingatnya, konyol namun memang begitu adanya. Rasanya aku terlalu menyayanginya.

        "Lagi baca catatan biologi?" Tanyaku setelah piring kami bersih.

        Aldo mendongakan kepalanya, "Iya. Kamu udah belajar?"

        "Udah." Aku mengangguk. "Emangnya kamu belum belajar?" Ucapku balik bertanya.

        "Udah sih semalem di rumah. Tapi aku ulang-ulang aja takut ada yang lupa."

        Aku mengangguk-angguk walaupun aku tau ia tidak mungkin lupa. Sepertinya semua pelajaran mudah menempel dan tahan lama pada otak Aldo. Tidak seperti aku yang gampang melupakan apa yang sudah dipelajari.

        Satu hal : Aldo sangat suka belajar. Tidak heran apabila namanya terus-menerus ada pada peringkat satu di sekolahku. Wawasannya yang luas juga membuatnya terpilih menjadi ketua osis hingga kini. Tempat kesukaannya adalah toko buku dan perpustakaan. Rasanya aku tidak pernah melihat ia lepas dari buku bahkan saat jalan berdua denganku. Jika kami sedang jalan ke mall bersama ia selalu memintaku untuk mengantarkannya ke toko buku. Dan aku tidak pernah menolaknya.

        Aku menyukai Aldo yang seperti itu. Aku senang ia gemar belajar dan membaca walau terkadang ia terlihat tidak mempedulikanku saat sedang serius dengan bacaannya. Tapi kan sudah aku bilang, aku terlalu menyayanginya.

        Beberapa sahabat perempuanku menyayangkan keputusanku untuk tetap bertahan bersama laki-laki seperti Aldo. "Del, lo cantik. Lo baik. Siapa sih yang nggak suka sama lo? Lo berhak dapet cowok yang lebih baik dari dia, yang lebih bisa ngertiin dan ngasih perhatian lebih sama lo. Ngga kayak dia yang selalu fokus sama pelajaran. Lo ngga sakit hati kalau dia lebih fokus sama bukunya?" Sakit. Tentu saja. Kadang aku sedih dengan cara Aldo memperlakukanku, seolah-olah aku bukan pacarnya. Aldo terkadang lebih banyak diam dan bersikap dingin. Ia juga bukan laki-laki yang romantis. Tidak ada bunga yang tiba-tiba datang. Tidak ada obrolan panjang di telfon pada saat tengah malam hanya untuk bilang 'aku sayang kamu'. Aldo bukan orang yang seperti itu.

        Bentuk perhatian lebihnya adalah membawakan barang-barangku. Membukakan pintu untukku. Dan melindungiku. Kadang aku mencium perlakuan protektifnya padaku. Tapi ia jarang sekali menyentuhku. Pernah suatu waktu ia menjelaskan alasannya padaku, "Aku sayang sama kamu. Sayang banget. aku siap melindungi kamu dan selalu ada di saat kamu butuhin aku. Aku nggak mau nyentuh kamu sembarangan, aku menghargai kamu sebagai wanita dan sebagai perempuan yang aku sayang." Aku hampir menangis mendengar perkataannya yang seperti itu. Saat itu aku baru sadar bahwa ia bersedia menjagaku, melindungiku walaupun ia tidak pernah menyentuhku, itulah cara dia menghargaiku. rasa-rasanya aku mulai mengerti bahwa sebenarnya Aldo sangat menyayangiku, terbukti dengan perlakuannya yang seperti itu. Dia sayang padaku, jadi dia tidak mau menyentuhku sembarangan. Kalimat itu menari-nari dalam benakku dan kini aku benar-benar memahami maknanya. Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak bisa bahagia bersama Aldo.

        Aku tidak peduli perkataan orang orang. Aku tau Aldo luar dalam lebih dari siapa pun. Aku yang tau rasa sayang dia padaku seperti apa. Aku dan Aldo yang menjalani hubungan ini jadi yang tau bahwa aku bahagia atau tidak hanya kami. Dan aku bahagia, bahkan jika hanya dengan duduk di samping Aldo dalam diam. 

                                                                   
                                                                       ********

        Aku membuka pintu sebuah cafe untuk anak muda yang terkenal di kotaku. Bunyi bel terdengar begitu aku memasuki cafe tersebut. Ucapan selamat datang dilontarkan oleh salah satu waitress di sana. Aku melihat sekeliling berusaha mencari Aldo yang sudah janjian denganku di sini. Suasana cafe masih sepi karena baru pukul sepuluh pagi. Jadi aku tidak kesulitan menemukan Aldo yang tengah duduk di salah satu kursi yang menghadap ke taman depan cafe tersebut. Ketika Aldo melihatku, ia tersenyum tipis dan melambaikan tangannya padaku. Aku menghampirinya.

        "Lama nunggu?" Tanyaku begitu aku sudah duduk di depannya.

        Aldo menggeleng, "Nggak kok. Aku baru aja sampe lima belas menit yang lalu." Katanya sambil nyengir, cengirannya yang khas. Yang selalu aku sukai. "Aku udah pesen minum buat kamu. Ice lemon tea dengan gelas tinggi dan jangan terlalu asam." Aku tersenyum. Aldo memang yang paling mengerti.

       "Makasih. Maaf ya tadi aku kelamaan milih baju. Aku selalu bingung mau pake baju apa biar aku cantik di depan kamu." Ujarku jujur sambil tertawa.

        Raut wajah Aldo berubah menjadi datar, nyaris tanpa ekspresi. Kemudian perlahan-lahan senyumnya yang kalem dan raut wajahnya yang teduh kembali lagi. Ia berkata sambil meremas tanganku, "Kamu selalu cantik kok. Aku nggak peduli dandanan kamu kayak gimana, tapi aku suka kamu yang apa adanya. Aku suka kamu yang sederhana, that's all."

        Aku mengulum senyum. Aku berani bertaruh, pasti saat ini rona merah sudah menjalari pipiku. Pujian Aldo dan genggaman tangannya membuatku merasa deg-degan, namun aku menikmatinya. Untuk ukuran laki-laki seperti Aldo yang jarang memegang tanganku, merangkul, apalagi memelukku membuat jantungku deg-degan setiap kali dia menyentuhku.

        Beberapa saat kemudian minuman kami datang. Kami mengobrol lama hari itu dan aku tertawa pada setiap candaan yang Aldo berikan. Memang, terkadang Aldo bersikap kaku dan kelihatan seperti canggung. Namun aku merasa bahwa ia memiliki kehangatan tersendiri dari setiap caranya berbicara, semua perkataannya, juga pandangannya yang teduh. Ah, dia laki-laki yang baik.

        Ketika hari sudah agak siang dan aku mengatakan aku harus segera pulang untuk mengantarkan ibuku pergi, Aldo menarik tanganku dan berkata. "Tunggulah sebentar di sini. Aku mau nunjukin sesuatu sama kamu."

        Aku tercenung sementara Aldo mengaduk-aduk isi ranselnya. Kemudian tangannya mengeluarkan sebentuk kotak kecil dari dalam tasnya. Kotak itu seperti tempat menyimpan cincin, atau itu memang tempat menyimpan cincin. Aku tidak tahu. Aku diam seribu bahasa. Pandanganku terus menerus terpaku pada kotak yang dipegang Aldo sementara pikiran-pikiran negatif mulai berkeliaran di benakku. Mungkinkah Aldo ingin menunjukkan cincin itu, cincin yang akan dia berikan pada perempuan lain? Apa dia sudah bosan padaku? Atau bosan mendengar perkataan-perkataan yang tidak menyenangkan dari mulut orang-orang di sekitar kami tentang hubungan kami? Jadi dia memutuskan untuk menyelesaikan semuanya di sini? Tiba-tiba mataku terasa panas. Aku tidak ingin kehilangan dia di sini, sekarang. Tidak sekarang. Aku menyayanginya.

        Aldo kemudian kembali menggenggam tanganku, menatap mataku dalam-dalam. Aku balas menatapnya, sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi di sini. Air mataku sudah akan keluar tapi aku tahan sebisa mungkin.

        "Ini buat kamu. Dibuka ya..." Aldo menumpukan kotak itu dalam genggaman tanganku.

        Aku masih bingung, namun tidak urung juga membuka kotak itu. Mataku melebar ketika melihat isinya. Cincin. Berwarna perak yang memantulkan cahaya di sekelilingnya, seperti kaleidoskop. Cincin itu sangat sederhana, tanpa hiasan berlian atau batu atau hiasan lain yang tersemat di atasnya. Benar-benar polos dan sederhana namun indah karena ini dari Aldo, indah karena ia istimewa.

        "Ini buat kamu, bukti bahwa aku serius sama kamu. Bahwa aku benar-benar sayang sama kamu. Bahwa aku nggak peduli sama omongan orang-orang yang buruk tentang kita. Karena yang terpenting adalah kita bahagia dengan kita yang kayak gini. Aku janji aku bakal terus jagain kamu sebisa mungkin, dan ada terus buat kamu. Aku sayang kamu, Della." Ucap Aldo sambil menyematkan cincin itu di jari manis tangan kananku.

        Pundakku bergetar dan kali ini aku tidak kuasa menahan desakan air mataku keluar. Air mata bahagia dan tenang karena perasaan haru dan nyaman ini memelukku dengan begitu erat. Perasaan seperti kamu telah menemukan orang yang tepat untuk kamu.

        Ketika aku mendongakan kepalaku dan menatap wajah Aldo, pipiku sudah sangat basah oleh air mata. Namun aku tersenyum. Tanpa disangka orang seperti Aldo yang selalu bersikap dingin bisa juga seperti ini. Bahkan mungkin hal paling romantis yang pernah aku alami. Aku memang tidak pernah salah memilih untuk bertahan dengannya.

        Memang terkadang menuruti perkataan orang lain tidak pernah akan ada habisnya. Saat ini aku hanya ingin menuruti kata hatiku saja, dan kali ini kata hatiku membawaku menuju cinta yang berlabuh pada Aldo. Aku tidak akan menolak perasaan ini.

        "Boleh peluk?" Lihat, ia bahkan meminta izin sebelumnya untuk memelukku.

       Dengan mata basah oleh air mata, aku mengangguk. Ia mendekapku erat dan saat itu aku tahu ia tidak akan melepaskanku sedikit pun, tidak akan membiarkan aku tersakiti oleh siapa pun. Perasaan nyaman dan dipenuhi oleh rasa bahagia mengitariku. Seribu satu ledakan emosi dan euforia total membuat air mataku terus menderas membasahi pundaknya.

        Aku menyayanginya walaupun ia lebih sering bersikap dingin dan kaku. Aku menyayanginya walaupun ia selalu sibuk dengan buku-bukunya dan acara osisnya sehingga jarang mempunyai waktu untukku. Walaupun ia terlalu sibuk sehingga seringkali seperti mengesampingkan aku. Aku tidak peduli. Aku menyayanginya. Bukan karena dia membuatku merasa spesial. Bukan karena dia pernah menyebutku gadis paling manis dan sederhana yang pernah ia temui. Aku bahagia bersamanya dan aku tidak butuh alasan lain untuk itu. 

        Dia memang orang yang aku cari, aku sayangi. Dia untukku.

Kamis, 18 Juli 2013

Cerita Orientasi



Maaf jika aku sudah sangat lancang, berani menulis ini. Maaf jika yang kuutarakan ini malah membuatmu tidak bersimpati padaku. Aku hanya ingin membeberkan yang selama ini terpendam, yang beberapa minggu ini menyita pikiranku, yang selalu membuat pikiranku berlabuh kemana-mana, aku hanya ingin semua beban lepas, aku hanya ingin lega.

Mungkin kamu bertanya, atas dasar apa aku menulis ini? Aku tidak bisa tidur, aku gundah, aku gelisah, aku galau. satu persatu banyangmu silih berganti memenuhi pikiranku. Waktuku, pikiranku semua habis tersita olehmu. Aku pun bingung, bisa-bisanya aku begini.

Semua bermula pada hari itu. Masa orientasi baru saja dimulai dengan murid-murid kelas sepuluh baru yang masih memakai seragam putih biru. Muka-muka kami ketakutan bercampur dengan rasa bingung karena harus beradaptasi dengan lingkungan baru kami. Baris-berbaris, dijemur di lapangan, bentakan sana-sini oleh panitia yang lain.

Aku pertama kali melihatmu sewaktu seorang guru bp memanggil namamu untuk maju ke podium. Kamu dipanggil untuk mencontohkan seragam yang benar dan lengkap. Kamu membuka topi abu-abumu sehingga terlihat rambutmu terlihat dengan jelas. Kamu tersenyum ke arah kami, ke arah adik-adik kelasmu, ke arah kelas sepuluh yang baru. Behelmu terlihat jelas sewaktu kamu tersenyum. Manis, tapi aku tidak tertarik. Atau belum, mungkin.

Aku ingat saat itu hari kedua orientasi. Hari Selasa. Kami, anak-anak kelas sepuluh baru dipusingkan dengan tugas membuat surat cinta yang akan diberikan kepada panitia orientasi kelas sebelas dan dua belas. Ada beberapa nama orang kakak kelas kelas panitia yang singgah dalam benakku namun aku segera menepisnya. Rasanya hatiku tidak pas walaupun surat itu hanya untuk candaan.

Aku masih memikirkan hal itu ketika bersiap untuk pulang. Ketika aku berjalan menyusuri pelataran parkir sekolah, aku melihat kakak-kakak panitia berjejer di sana, mengawal kami pulang. Kami menyapa kakak kakak panitia, dan ketika aku melewatimu, kamu tersenyum dan mengangguk padaku. Saat itulah hatiku mantap bahwa kamulah yang akan kukirimi surat tersebut. aku tidak tahu apa alasannya, ide itu tiba-tiba tercetus begitu saja.

Maka saat malam harinya aku begadang menulis surat itu, berusaha agar isi surat itu tidak terkesan bodoh dan berlebihan. Sempat ada ragu ketika aku akan menulis namamu pada amplop berisi surat itu, namun toh aku tidak punya pilihan lain. Dengan debaran jantung yang aneh serta tangan gemetar aku menulis namamu dengan perlahan pada bagian depan amplop itu. Dan perlahan-lahan aku merasakan hatiku menghangat.

Besoknya, ketika hari terakhir masa orientasi kamu tampil bersama teman-teman ekskulmu. Bermain drama islami dan menyanyi karena baru aku tau hari itu kamu bergabung dalam rohis dan paduan suara. Kamu memerankan seorang peran dan membuat kami khusunya kelas aku tergelak. kamu tersenyum di sana, behelmu kembali terlihat. Hatiku berdesir aneh, ada apa sebenarnya? ketika kamu bernyanyi aku bisa mendengar suaramu dengan jelas. Berat dan... ah sungguh, aku ingin sekali mengobrol bersamamu agar aku bisa terus-terusan mendengar suaramu. Karena tidak seperti panitia yang lain yang banyak berbicara, kamu lebih banyak diam dan tersenyum. Bahkan saat kakak kakak panitia memarahi kami, kamu hanya memperhatikan sambil tersenyum.

Mulai saat itu aku lebih sering memperhatikanmu. Mencuri-curi pandang ke arahmu dan buru-buru menundukkan pandangan ketika kamu menatap ke arahku. Aku mengepalkan tanganku, tidak kuasa menahan letupan bahagia ketika melihat senyum yang singgah di wajahmu. Tersenyum ketika mengetehaui kamu berdiri tidak jauh dariku di lapangan ketika sedang baris berbaris. degupan jantung yang tidak beraturan ketika aku lewat di hadapanku. Semuanya. Sebenarnya aku ini kenapa?

Kaetika bersalam-salaman pada hari terakhir masa orientasi pun aku menundukkan pandangan dalam-dalam, menutupi nametag yang tersampir di leherku hanya agar kamu tidak tahu namaku. Aku malu dan dengan sekejap erythrophobia menyerangku, membuat semu merah muda menjalar di pipiku. Dan kamu harus tau ketika tangan kita bersentuhan, rasanya aku hampir tidak bisa berdiri, aku ingin jatuh, duduk ke tanah.

Aku lebih sering online social media, mencari-cari namamu diantara milyaran nama pengguna social media yang lain hanya untuk mengetahui kabarmu, hanya untuk mengetahui apa yang kamu tulis dan rasakan, hanya untuk memuaskan rasa penasaranku.

Dan hanya untuk sakit hati ketika aku mengetahui bahwa kamu sudah memiliki seseorang yang mengisi hati kamu. Hey, mengapa rasanya begitu perih? Mengapa air mata tiba-tiba menitik? Sudah, cukup. Aku mengerti jawabannya. Perasaan ini tumbuh begitu cepat, tanpa sempat aku menyadarinya sehingga aku sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk mencegahnya. Tidak memiliki kesempatan untuk menyadarkan diri sendiri bahwa aku tidak bisa lebih jauh memendam rasa padamu.

Aku merasa begitu bodoh dan malu. Siapa aku ini hahahaha, berani-beraninya berharap pada kakak kelas sepertimu yang sudah jelas-jelas memiliki segala sesuatunya untuk dikagumi. Bukan hanya aku pasti yang menaruh rasa terhadapmu, dan aku tau aku sama sekali tidak layak.

Kamu yang anak rohis, anak paduan suara. Kamu yang berbehel, kamu yang selalu berjalan dengan jari jari digenggam di punggung, kamu yang memakai jam tangan hitam di pergelangan tangan kiri, kamu yang berbadan tinggi. Panitia kalem yang selalu tersenyum, yang memiliki senyum yang sulit membuatku bernapas dengan lancar, yang selalu tertawa di ujung panggung bersama panitia lainnya. Yang membuatku selalu mengharap, yang membuatku tidak bisa tidur. yang telah memonopoli pikiranku. Ah, semua tentang kamu tidak akan pernah ada habisnya.

Setiap hariku rasanya tidak menyenangkan. Tolong jangan membuatku uring-uringan dengan tidak menunjukkan kehadiranmu. Dapat melihat wajahmu saja aku sudah bahagia, sudah cukup. Aku tidak berhak untuk mengharap lebih, aku bukan siapa-siapa kamu. Walaupun aku sadar setiap harinya dadaku sesak dipalu rasa dan rindu. Biarkan aku yang merasakan sakitnya dan wajahmu, kehadiranmu, satu satunya obat bagi sakit hatiku.

Bolehkah aku tetap berdiri di sini? Menunggu kamu untuk berbicara padaku? Sambil tetap mengagumimu dalam diam.