Hari ini.... Kamu datang lagi. Kamu datang lagi pada hari-hariku, pada setiap bayangku, seolah kamu tak pernah jauh dariku. Padahal, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menolak kembali kedatangan kamu. Aku sudah berjanji untuk membatasi diri agar tidak terlalu sering mengobrol denganmu. Aku sudah berjanji untuk menjaga jarak denganmu.
Semua gagal. Janji-janjiku tidak dapat kupenuhi. Aku telah lama berusaha mencoba menghindari perasaanku dengan mengindarimu. Namun selalu saja aku gagal. Perasaanku terlalu kuat untuk kusanggah, terlalu kuat untuk kutolak, aku terlalu lemah menghindari perasaanku padamu, Kau tahu?
Ketika pengabaianmu terasa begitu lekat, begitu terasa, begitu menyakitkan, aku berusaha tegar dengan menjaga jarak denganmu. Aku menjauhimu karena kamu juga menjauhiku. Aku hanya merasa kamu tidak ingin terganggu olehku, jadi saat itu aku memutuskan untuk mengakhiri kedekatan kita, aku memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri. Kamu ke suatu persimpangan, sementara aku menuju persimpangan berbalik denganmu. Aku berusaha pergi, sejauh-jauhnya. Aku kira dengan jarak seperti ini, segalanya akan menjadi lebih baik untuk kita. Baik buatmu, juga baik buatku. Namun aku salah. Jarak ini justru memperburuk keadaan. Kamu tahu apa yang sering aku rasakan ketika kamu terasa begitu jauh padahal nyatanya kamu ada? Kamu berdiri di dekatku. Kamu nyata. Kamu ada. Tetapi aku merasa kamu begitu jauh, begitu berjarak. Aku merasakan sakit, juga rindu akan tawa yang dulu kita bagi.
Lambat laun, aku mulai terbiasa dengan hari-hari tanpamu. Walau rasanya begitu abu-abu tanpa kamu, segalanya terasa begitu buruk jika kamu tidak ada di sampingku. Namun kukira ini yang kamu mau, jadi aku hanya berusaha menjalaninya. Aku baik-baik saja. Aku terbiasa tanpamu. Tanpa pesan singkat darimu, tanpa lelucon khas kamu, tanpa obrolan-obrolan ringan yang biasa kita lakukan, hatiku lambat laun menerimanya.
Namun hari ini, kamu datang lagi. Kamu seperti dulu yang aku kenal, kamu penuh dengan tawa dan juga canda ketika kamu mengobrol bersamaku. Kamu kembali menatapku ketika kita berbicara, kamu tidak lagi mengabaikanku, kamu tidak lagi menjaga jarak denganku.
Aku tidak tahu apakah aku harus senang atau sebaliknya ketika menghadapi perubahan darimu. Yang kutahu adalah aku hanya takut. Takut jika kamu tiba-tiba kembali mengabaikanku, aku takut kembali merasakan perasaan sakit, aku takut kembali menangis karenamu. Aku takut perasaan yang dulu hampir sirna itu datang kembali.
Mengapa kamu datang kembali di saat aku sudah terbiasa tanpa kehadiranmu? Mengapa kamu datang kembali ketika aku sudah menutup pintu hatiku rapat-rapat? Seolah kamu ingin memberikan segores harapan yang dulu berusaha aku kubur dalam-dalam. Jika kamu hanya memberi harapan yang tidak kunjung menjadi nyata, aku lebih ingin kamu pergi jauh-jauh dari sisiku, sudah cukup aku merasakan sakit.
Sekuat apapun aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku sudah pergi dari bayang-bayang tentangmu, tetapi ketika aku melihat kembali wajahmu, berbicara denganmu, perasaan itu tumbuh kembali. Kenyataan bahwa aku masih sangat mengharapkanmu tidak dapat aku tolak.
Kamu hanya perlu tahu satu hal, usahaku untuk menjauhimu akan terus-menerus gagal jika kamu terus-terusan datang pada setiap hariku. Jangan datang jika niatmku hanya untuk menambahkan lukaku, jangan datang jika kamu hanya ingin menjatuhkanku lebih keras.
Tapi lepas dari itu semua, aku masih mengharapkanmu.
Selasa, 29 Januari 2013
Sabtu, 26 Januari 2013
Maaf, Aku Terlalu Berharap
Aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku. Pada kamu. Pada kita. Mengapa rasanya semua berjalan begitu cepat. Tiba-tiba saja Kamu sudah menyita seluruh isi pikiranku. Tiba-tiba saja hadirnya Kamu di sampingku selalu kuharapakan. Kita mulai dekat, bercanda, juga tetawa. Kamu membawa membawa perasaan lain di hatiku ketika aku menatap matamu, berbicara denganmu, Perasaan yang benar-benar membuatku nyaman, membuatku tidak ingin beranjak dari sisimu sedikitpun.
Semua jadi terasa berbeda karena hadirnya kamu. Hitam dan putih yang biasanya mengisi hari-hariku terasa lebih berwarna, lebih hidup ketika kamu hadir untuk menggenapkan ruang-ruang kosong yang di selubungi kesepian di hatiku. Obrolan-obrolan ringan yang kita jalin terasa tidak lagi biasa, terasa begitu berharga bagiku. Perasaan ini tumbuh lebih cepat daripada yang kuduga.
Aku merasa susah karena perasaan ini. Sekuat aku bisa, aku berusaha untuk menyanggah perasaanku padamu, berusaha menghindari kamu dan juga perasaanku sendiri. Namun nyatanya semua sia-sia karena kamu tetap hadir tanpa lelah menghuni seluk beluk benakku.Tiba-tiba saja aku merasa takut dan khawatir akan kehilangan sosokmu, tak bisa kubayangkan apa yang terjadi jika aku harus pergi dari tawamu. Aku sulit jauh darimu, terkadang aku merasa kamu seperti oksigen, hal yang penting dan selalu aku butuhkan, padahal kamu bukan siapa-siapa aku. Terkadang aku heran apa yang menyebabkan aku takut kehilangan yang bukan milikku? Salahkan aku dan perasaanku.
Tapi.... Entah mengapa aku merasa bahwa kamu tak merasakan yang kurasa. Perasaan kita berbeda. Sikapmu padaku juga berbeda, seakan-akan hadirnya diriku tidak berpengaruh apapun bagimu. Rasa pedulimu pun tidak sedalam rasa peduliku. Apa yang salah dari kita? Apa yang salah dari caraku mengagumimu?
Mungkin, kamu hanya belum mengerti sedalam apa perasaanku. Jadi, kamu hanya mengabaikan ketulusanku dengan menjauhiku, kamu berusaha terlihat tidak peduli. Salahkah aku tetap menyampaikan harap pada setiap air mata yang menetes untukmu? Salahkah aku memiliki perasaan ini? Pernahkah sekali saja aku ada dalam pikiranmu? Pernahkah sebentar saja kamu memikirkanku? Mungkinkah aku bisa merasakan ketulusanmu? Tolong, sekali saja.
Kadang aku merasa begitu tolol mengemis cinta padamu. Tetap menyukaimu walaupun entah untuk yang keberapa kalinya aku menangis, tetap mengharapkanmu walaupun itu sia-sia. Jadi lihatlah! Aku begitu tulus, perasaanku tanpa syarat. Tetapi lihat dirimu! Pernahkah aku menjadi sesuatu yang berharga di hatimu?
Aku tidak berhak berbicara tentang rindu akan hari-hari kebersamaan kita yang menyenangkan karena kamu tak merasakan rindu yang kurasa. Jarak yang sengaja kamu goreskan diantara kita seolah menjadi pertanda bahwa kamu benar-benar ingin menjauhkan aku dari hidupmu.
Tidaklah menyakitkan jika kamu menolak perasaanku karena yang kupermasalahkan sebenarnya bukan itu. Kamu tahu apa yang paling menyakitkan saat perasaanmu begitu terikat kepada seseorang? Bukan karena kamu tidak bisa menyatu dengan dia maka kamu akan merasa hidupmu begitu nestapa. Sesuatu yang lebih meluluhlantakkan hatimu adalah ketika seseorang itu pergi menjauh dari hidupmu, membiasakan diri tanpamu atau bahkan orang itu tidak menganggapmu ada sekalipun kamu ada di sampingnya. Seseorang itu tidak ingin kamu terlibat dalam hidupnya, bahkan sekedar untuk diingat. Dan itu perlakuanmu padaku.
Mungkin, dari awal memang aku yang salah. Aku terlalu cepat menyimpulkan bahwa perhatian kecil yang kau beri padaku adalah bentuk perasaan lebihmu, tanpa tahu bahwa itu hanyalah sebuah perhatian kecil dari seorang teman. Aku yang salah untuk terlalu berharap bahwa kita bisa menyatu tanpa menyadari bahwa kamu tidak memiliki perasaan yang sama denganku. Aku memang salah.
Namun, aku juga tidak bisa melupakan janji-janjimu. Ucapanmu ketika mengatakan, "Aku juga suka sama kamu." Terasa begitu semu, terasa seperti ambigu ketika kenyataannya adalah kamu tidak pernah menyukaiku sama sekali. Aku tidak mengerti, janjimu terlalu banyak dan tidak ada satu pun yang kamu tepati. Apakah kita akan berpisah di persimpangan jalan yang telah sama-sama kita bangun?
Ingatkah perkataanmu dulu yang selalu membuatku nyaman dan tenang? Kamu akhirnya menjatuhkan aku sekeras yang kamu bisa dari kebahagiaan semu yang telah kamu beri. Tak ada artinyakah aku di matamu, sayang, padahal aku telah menganggapmu seseorang yang lebih dari teman, yang begitu bernilai dalam hidupku, dalam setiap napasku dalam setiap detak jantungku. Tetapi aku harus terhempas pada kenyataan bahwa aku bukan siapa-siapa bagimu dan tidak akan pernah menjadi siapa-siapa, selamanya begitu.
Kini, masih bisakah aku menaruh berjuta harapan yang tak kunjung menjadi nyata? Aku baru menyadari bahwa kamu begitu sulit kuraih, begitu jauh dari genggaman tanganku. Aku harusnya menyadari posisiku saat ini.
Tenanglah, tidak usah khawatir. Aku bisa memendam perasaan ini. Karena jika aku menjelaskan pun kamu tidak akan pernah mau mencoba untuk mengerti, semua akan menjadi sia-sia. Aku akan berusaha untuk melepaskan segenap harapanku, aku akan berusaha mengubur sisa-sisa kebahagiaan yang hampir musnah itu dalam dasar hatiku, agar tidak ada seorangpun yang bisa mengambilnya kembali. Agar kamu mengerti betapa besar aku berharap.
Tidak usah kamu ajari aku bagaimana cara merindukanmu, aku lebih tahu. Hatiku lebih sering menafsirkan rasa itu. Tidak usah kamu ajari aku bagaimana caranya melupakanmu karena hari-hariku lebih sibuk mengeja rasa itu. Dan kamu pasti tahu, aku berbohong jika aku bilang bahwa dengan mudahnya aku membenci dan melupakanmu, selamanya aku tidak akan begitu. Kamu pasti tahu kalau aku selalu sulit lepas dari bayang-bayang tentangmu.
Sekarang menjauhlah, jangan dekati aku lagi. Aku tidak ingin perasaan itu terus-menerus mengiringiku tanpa bisa menjadi nyata. Aku lebih memilih untuk dekat dengan sepi dan luka, biarkan aku sendiri yang mengobati sakit hatiku. Aku lebih mengerti diriku daripada kamu yang tidak pernah mau mencoba untuk mengerti.
Maafkan aku karena sudah terlalu berharap.
Semua jadi terasa berbeda karena hadirnya kamu. Hitam dan putih yang biasanya mengisi hari-hariku terasa lebih berwarna, lebih hidup ketika kamu hadir untuk menggenapkan ruang-ruang kosong yang di selubungi kesepian di hatiku. Obrolan-obrolan ringan yang kita jalin terasa tidak lagi biasa, terasa begitu berharga bagiku. Perasaan ini tumbuh lebih cepat daripada yang kuduga.
Aku merasa susah karena perasaan ini. Sekuat aku bisa, aku berusaha untuk menyanggah perasaanku padamu, berusaha menghindari kamu dan juga perasaanku sendiri. Namun nyatanya semua sia-sia karena kamu tetap hadir tanpa lelah menghuni seluk beluk benakku.Tiba-tiba saja aku merasa takut dan khawatir akan kehilangan sosokmu, tak bisa kubayangkan apa yang terjadi jika aku harus pergi dari tawamu. Aku sulit jauh darimu, terkadang aku merasa kamu seperti oksigen, hal yang penting dan selalu aku butuhkan, padahal kamu bukan siapa-siapa aku. Terkadang aku heran apa yang menyebabkan aku takut kehilangan yang bukan milikku? Salahkan aku dan perasaanku.
Tapi.... Entah mengapa aku merasa bahwa kamu tak merasakan yang kurasa. Perasaan kita berbeda. Sikapmu padaku juga berbeda, seakan-akan hadirnya diriku tidak berpengaruh apapun bagimu. Rasa pedulimu pun tidak sedalam rasa peduliku. Apa yang salah dari kita? Apa yang salah dari caraku mengagumimu?
Mungkin, kamu hanya belum mengerti sedalam apa perasaanku. Jadi, kamu hanya mengabaikan ketulusanku dengan menjauhiku, kamu berusaha terlihat tidak peduli. Salahkah aku tetap menyampaikan harap pada setiap air mata yang menetes untukmu? Salahkah aku memiliki perasaan ini? Pernahkah sekali saja aku ada dalam pikiranmu? Pernahkah sebentar saja kamu memikirkanku? Mungkinkah aku bisa merasakan ketulusanmu? Tolong, sekali saja.
Kadang aku merasa begitu tolol mengemis cinta padamu. Tetap menyukaimu walaupun entah untuk yang keberapa kalinya aku menangis, tetap mengharapkanmu walaupun itu sia-sia. Jadi lihatlah! Aku begitu tulus, perasaanku tanpa syarat. Tetapi lihat dirimu! Pernahkah aku menjadi sesuatu yang berharga di hatimu?
Aku tidak berhak berbicara tentang rindu akan hari-hari kebersamaan kita yang menyenangkan karena kamu tak merasakan rindu yang kurasa. Jarak yang sengaja kamu goreskan diantara kita seolah menjadi pertanda bahwa kamu benar-benar ingin menjauhkan aku dari hidupmu.
Tidaklah menyakitkan jika kamu menolak perasaanku karena yang kupermasalahkan sebenarnya bukan itu. Kamu tahu apa yang paling menyakitkan saat perasaanmu begitu terikat kepada seseorang? Bukan karena kamu tidak bisa menyatu dengan dia maka kamu akan merasa hidupmu begitu nestapa. Sesuatu yang lebih meluluhlantakkan hatimu adalah ketika seseorang itu pergi menjauh dari hidupmu, membiasakan diri tanpamu atau bahkan orang itu tidak menganggapmu ada sekalipun kamu ada di sampingnya. Seseorang itu tidak ingin kamu terlibat dalam hidupnya, bahkan sekedar untuk diingat. Dan itu perlakuanmu padaku.
Mungkin, dari awal memang aku yang salah. Aku terlalu cepat menyimpulkan bahwa perhatian kecil yang kau beri padaku adalah bentuk perasaan lebihmu, tanpa tahu bahwa itu hanyalah sebuah perhatian kecil dari seorang teman. Aku yang salah untuk terlalu berharap bahwa kita bisa menyatu tanpa menyadari bahwa kamu tidak memiliki perasaan yang sama denganku. Aku memang salah.
Namun, aku juga tidak bisa melupakan janji-janjimu. Ucapanmu ketika mengatakan, "Aku juga suka sama kamu." Terasa begitu semu, terasa seperti ambigu ketika kenyataannya adalah kamu tidak pernah menyukaiku sama sekali. Aku tidak mengerti, janjimu terlalu banyak dan tidak ada satu pun yang kamu tepati. Apakah kita akan berpisah di persimpangan jalan yang telah sama-sama kita bangun?
Ingatkah perkataanmu dulu yang selalu membuatku nyaman dan tenang? Kamu akhirnya menjatuhkan aku sekeras yang kamu bisa dari kebahagiaan semu yang telah kamu beri. Tak ada artinyakah aku di matamu, sayang, padahal aku telah menganggapmu seseorang yang lebih dari teman, yang begitu bernilai dalam hidupku, dalam setiap napasku dalam setiap detak jantungku. Tetapi aku harus terhempas pada kenyataan bahwa aku bukan siapa-siapa bagimu dan tidak akan pernah menjadi siapa-siapa, selamanya begitu.
Kini, masih bisakah aku menaruh berjuta harapan yang tak kunjung menjadi nyata? Aku baru menyadari bahwa kamu begitu sulit kuraih, begitu jauh dari genggaman tanganku. Aku harusnya menyadari posisiku saat ini.
Tenanglah, tidak usah khawatir. Aku bisa memendam perasaan ini. Karena jika aku menjelaskan pun kamu tidak akan pernah mau mencoba untuk mengerti, semua akan menjadi sia-sia. Aku akan berusaha untuk melepaskan segenap harapanku, aku akan berusaha mengubur sisa-sisa kebahagiaan yang hampir musnah itu dalam dasar hatiku, agar tidak ada seorangpun yang bisa mengambilnya kembali. Agar kamu mengerti betapa besar aku berharap.
Tidak usah kamu ajari aku bagaimana cara merindukanmu, aku lebih tahu. Hatiku lebih sering menafsirkan rasa itu. Tidak usah kamu ajari aku bagaimana caranya melupakanmu karena hari-hariku lebih sibuk mengeja rasa itu. Dan kamu pasti tahu, aku berbohong jika aku bilang bahwa dengan mudahnya aku membenci dan melupakanmu, selamanya aku tidak akan begitu. Kamu pasti tahu kalau aku selalu sulit lepas dari bayang-bayang tentangmu.
Sekarang menjauhlah, jangan dekati aku lagi. Aku tidak ingin perasaan itu terus-menerus mengiringiku tanpa bisa menjadi nyata. Aku lebih memilih untuk dekat dengan sepi dan luka, biarkan aku sendiri yang mengobati sakit hatiku. Aku lebih mengerti diriku daripada kamu yang tidak pernah mau mencoba untuk mengerti.
Maafkan aku karena sudah terlalu berharap.
Rabu, 23 Januari 2013
Pertemuan Dalam Hujan
Hujan. Bau tanah basah. Udara yang lembab.
Aku menatap langit dari teras rumahku. Langit mengeluarkan titik-titik air kecil yang membuat genangan-genangan air di jalanan. Aku menarik napas dan menghembuskannya. Entah mengapa aku selalu merasa bahwa hujan selalu membawa atmosfer lain, sesuatu yang dapat membuatku berpikir lagi pada kejadian silam. Tiba-tiba ingatanku seakan dipaksa untuk hadir kembali pada kejadian itu. Pertemuan singkat yang telah benar-benar merubah seluruh perasaanku.
********
Aku berdirim dalam diam di depan gerbang sekolahku menunggu hujan reda untuk pulang ke rumah. Hujan tidak kunjung berhenti sejak tadi siang hingga sore ini, membuat cuaca mendung juga suasana hatiku yang seketika menjadi muram.
Aku memeluk erat tubuhku sendiri dengan lenganku yang ramping. Seragam sekolah yang masih kukenakan telah setengah basah oleh air hujan yang terus menderas. Aku harus pulang, ibu pasti sudah sangat khawatir padaku.
Saat itulah kamu datang.
Di antara hujan yang tidak kunjung berhenti, di antara dinginnya udara.
Kamu datang, mengendarai motormu dan berhenti tepat di depanku. Saat itu aku hanya diam termangu, merasa bingung.
Kamu membuka helmmu, menampakkan sebentuk wajah yang tidak akan pernah hilang dari ingatanku, sebentuk wajah yang selalu membayangi aku. Kamu tersenyum padaku, kamu turun dari motormu, mendekatiku dan ikut berdiri di sebelahku. Tanpa berkata apa-apa lagi kamu segera mengulurkan jaket abu-abu padaku. Kamu masih tersenyum ketika kamu menyampirkan jaket itu pada bahuku, seolah kamu menyuruhku untuk segera memakai jaket itu agar aku berhenti kedinginan. Akhirnya aku memakai jaketmu, aku merasa badanku menjadi lebih hangat, begitu juga dengan hatiku.
Setelah itu kamu kembali menaiki motormu dan tanpa berkata apa-apa kamu segera pergi dari hadapanku. Aku ingat sebelum kamu benar-benar pergi dari hadapanku, dari hidupku kamu tersenyum. Aku hanya bingung dan kaget. Namun sebelum aku sempat menyadari apa yang telah terjadi, sebelum aku sempat bertanya apa yang kaulakukan, kamu telah benar-benar pergi dariku.
Aku pulang dengan jaketmu di tubuhku, Walaupun udara dingin, aku merasa hangat karena jaketmu. Walalupun kamu sama sekali tidak menyentuhku, aku merasa hangat oleh senyumanmu.
********
Waktu terus berlalu, meninggalkan pertemuan singkat antara kita berdua. Jaketmu masih ada padaku, selalu aku jaga, selalu aku simpan.
Kau tahu? Rasanya aku memiliki suatu perasaan yang lain kala aku mengingat pertemuan kita. Sesuatu yang dapat membuatku tersipu, tersenyum-senyum, sesuatu yang aku rindukan. Aku masih seringkali bingung ketika menganang masa itu, kamu, orang yang sama sekali tidak kukenal datang padaku di kala hujan. Membawakanku jaket dengan senyumanmu dan tanpa berkata apa-apa kamu pergi dari hadapanku, kamu tidak pernah kembali lagi. Aku bahkan tidak sempat bertanya siapa namamu.
Aku sering melihat adegan seorang lelaki memberikan jeket pada perempuannya pada film-film. Awalnya aku menganggap adegan itu suatu adegan biasa, namun setelah aku merasakannya sendiri aku berpikir ulang bahwa adegan itu lebih dari sekedar biasa.
Aku tidak pernah menyangka sebelumnya. kejadian itu bisa terjadi padaku dengan orang yang tidak kukenal, ya kamu. Aku menyukai saat-saat dimana aku mengenang masa itu, kau tahu? Aku sungguh ingin kamu ada di sini, biarpun hanya untuk mengetahui namamu.
kamu telah berhasil membuatku mencintai hujan karena kenangan yang ada di dalamnya. Hanya dalam waktu yang singkat saja tetapi hujan mampu membuatku merasa kamu ada di sampingku. Memang aneh rasanya, menaruh perasaan pada orang yang tidak kukenal, yang hanya datang dalam hidupku beberapa menit. Tapi inilah kenyataannya. Sulit kupercayai, tapi aku mencintai hujan bersama kamu di dalamnya. Bersama pertemuan singkat kita.
Aku merindukanmu, dan aku tidak tahu di mana dan kapan kita bisa bertemu lagi. Aku ragu, mungkin kamu tak rasakan sepertiku, aku selalu menunggu hujan datang, setiap saat, setiap waktu. Menunggu kamu membawa kehangatan padaku.
Pertemuan singkat yang kita alami telah merebut hatiku, telah membuatku jatuh pada hari-hari di mana aku merindukanmu.
Hujan. satu-satunya hal yang dapat mengobati rinduku padamu. Mengobati rinduku pada sepenggal kisah pertemuan kita yang mungkin takkan bisa terulang.
Aku hanya ingin kau tahu, diam-diam aku selalu menitipkan rindu dan harapan yang sama dalam beribu-ribu rintik hujan yang turun: aku ingin hari-hari mendatang selalu bersamamu.
Aku mencintaimu, laki-laki yang tidak kuketahui namanya.
Aku mencintaimu, laki-laki yang bertemu denganku di antara hujan.
Di takdir manakah kita akan bertemu kembali?
Aku menunggu.
Aku menatap langit dari teras rumahku. Langit mengeluarkan titik-titik air kecil yang membuat genangan-genangan air di jalanan. Aku menarik napas dan menghembuskannya. Entah mengapa aku selalu merasa bahwa hujan selalu membawa atmosfer lain, sesuatu yang dapat membuatku berpikir lagi pada kejadian silam. Tiba-tiba ingatanku seakan dipaksa untuk hadir kembali pada kejadian itu. Pertemuan singkat yang telah benar-benar merubah seluruh perasaanku.
********
Aku berdirim dalam diam di depan gerbang sekolahku menunggu hujan reda untuk pulang ke rumah. Hujan tidak kunjung berhenti sejak tadi siang hingga sore ini, membuat cuaca mendung juga suasana hatiku yang seketika menjadi muram.
Aku memeluk erat tubuhku sendiri dengan lenganku yang ramping. Seragam sekolah yang masih kukenakan telah setengah basah oleh air hujan yang terus menderas. Aku harus pulang, ibu pasti sudah sangat khawatir padaku.
Saat itulah kamu datang.
Di antara hujan yang tidak kunjung berhenti, di antara dinginnya udara.
Kamu datang, mengendarai motormu dan berhenti tepat di depanku. Saat itu aku hanya diam termangu, merasa bingung.
Kamu membuka helmmu, menampakkan sebentuk wajah yang tidak akan pernah hilang dari ingatanku, sebentuk wajah yang selalu membayangi aku. Kamu tersenyum padaku, kamu turun dari motormu, mendekatiku dan ikut berdiri di sebelahku. Tanpa berkata apa-apa lagi kamu segera mengulurkan jaket abu-abu padaku. Kamu masih tersenyum ketika kamu menyampirkan jaket itu pada bahuku, seolah kamu menyuruhku untuk segera memakai jaket itu agar aku berhenti kedinginan. Akhirnya aku memakai jaketmu, aku merasa badanku menjadi lebih hangat, begitu juga dengan hatiku.
Setelah itu kamu kembali menaiki motormu dan tanpa berkata apa-apa kamu segera pergi dari hadapanku. Aku ingat sebelum kamu benar-benar pergi dari hadapanku, dari hidupku kamu tersenyum. Aku hanya bingung dan kaget. Namun sebelum aku sempat menyadari apa yang telah terjadi, sebelum aku sempat bertanya apa yang kaulakukan, kamu telah benar-benar pergi dariku.
Aku pulang dengan jaketmu di tubuhku, Walaupun udara dingin, aku merasa hangat karena jaketmu. Walalupun kamu sama sekali tidak menyentuhku, aku merasa hangat oleh senyumanmu.
********
Waktu terus berlalu, meninggalkan pertemuan singkat antara kita berdua. Jaketmu masih ada padaku, selalu aku jaga, selalu aku simpan.
Kau tahu? Rasanya aku memiliki suatu perasaan yang lain kala aku mengingat pertemuan kita. Sesuatu yang dapat membuatku tersipu, tersenyum-senyum, sesuatu yang aku rindukan. Aku masih seringkali bingung ketika menganang masa itu, kamu, orang yang sama sekali tidak kukenal datang padaku di kala hujan. Membawakanku jaket dengan senyumanmu dan tanpa berkata apa-apa kamu pergi dari hadapanku, kamu tidak pernah kembali lagi. Aku bahkan tidak sempat bertanya siapa namamu.
Aku sering melihat adegan seorang lelaki memberikan jeket pada perempuannya pada film-film. Awalnya aku menganggap adegan itu suatu adegan biasa, namun setelah aku merasakannya sendiri aku berpikir ulang bahwa adegan itu lebih dari sekedar biasa.
Aku tidak pernah menyangka sebelumnya. kejadian itu bisa terjadi padaku dengan orang yang tidak kukenal, ya kamu. Aku menyukai saat-saat dimana aku mengenang masa itu, kau tahu? Aku sungguh ingin kamu ada di sini, biarpun hanya untuk mengetahui namamu.
kamu telah berhasil membuatku mencintai hujan karena kenangan yang ada di dalamnya. Hanya dalam waktu yang singkat saja tetapi hujan mampu membuatku merasa kamu ada di sampingku. Memang aneh rasanya, menaruh perasaan pada orang yang tidak kukenal, yang hanya datang dalam hidupku beberapa menit. Tapi inilah kenyataannya. Sulit kupercayai, tapi aku mencintai hujan bersama kamu di dalamnya. Bersama pertemuan singkat kita.
Aku merindukanmu, dan aku tidak tahu di mana dan kapan kita bisa bertemu lagi. Aku ragu, mungkin kamu tak rasakan sepertiku, aku selalu menunggu hujan datang, setiap saat, setiap waktu. Menunggu kamu membawa kehangatan padaku.
Pertemuan singkat yang kita alami telah merebut hatiku, telah membuatku jatuh pada hari-hari di mana aku merindukanmu.
Hujan. satu-satunya hal yang dapat mengobati rinduku padamu. Mengobati rinduku pada sepenggal kisah pertemuan kita yang mungkin takkan bisa terulang.
Aku hanya ingin kau tahu, diam-diam aku selalu menitipkan rindu dan harapan yang sama dalam beribu-ribu rintik hujan yang turun: aku ingin hari-hari mendatang selalu bersamamu.
Aku mencintaimu, laki-laki yang tidak kuketahui namanya.
Aku mencintaimu, laki-laki yang bertemu denganku di antara hujan.
Di takdir manakah kita akan bertemu kembali?
Aku menunggu.
Selasa, 22 Januari 2013
Laki-laki Gondrong di Kursi Belakang
Aku kembali mememandanginya diam-diam.
Anak laki-laki itu duduk dua bangku di belakangku. Rambutnya gondrong berantakan, kulitnya terbilang putih untuk ukuran seorang anak laki-laki dan sorot matanya terlihat cuek, sekilas tidak peduli dengan apa yang ada di sekelilingnya.
Beberapa minggu terakhir ini aku selalu memandanginya dari jauh, hanya memandangi. aku tidak berani menegur atau menyapanya. Pertama, aku terlalu malu untuk melakukannya, kedua, kupikir aku sama sekali tidak punya alasan untuk mengajaknya mengobrol, dan yang ketiga karena mungkin ia sama sekali tidak akan menggubris sapaanku.
Aku juga tidak mengerti apa yang membuatku begitu sering memandanginya. Aku hanya merasakan ada kesan yang berbeda, ada sesuatu yang berbeda ketika aku menatapnya. Aku tidak tahu apa itu tapi kurasa ia berbeda dengan anak laki-laki lain di sekolahku, di kelasku. Ia begitu tertutup, begitu pendiam. Itu yang membuatku berpikir untuk selangkah lebih dekat dengannya, tidak apa hanya selangkah. Karena yang penting bagiku adalah mengetahui suatu hal tentang dirinya, walaupun hanya sedikit.
Dia memang teman sekelasku. Hanya saja aku tidak begitu mengenalnya, aku hanya berbicara dengannya jika ada hal yang bersangkutan dengan masalah pelajaran, itu pun hanya beberapa kali, bisa dihitung dengan jari. Seperti yang sudah kukatakan, aku hanya dapat memandanginya diam-diam. Hanya sebatas itu.
********
Hari senin pagi. Suasana kelas sedang ribut-ributnya, tepat beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi. Teman-teman sekelasku sedang sibuk mengerjakan pr ips, begitulah ciri khas kami, selalu mengerjakan pekerjaan rumah di sekolah.
Di antara kesibukan pagi itu di kelas, tiba-tiba aku ingin memandanginya lagi. Pelan-pelan aku memutar kepalaku ke arah dua bangku setelah bangkuku. Ya, ke arah anak laki-laki berambut gondrong yang pendiam itu. Sama seperti aku, dia sudah menyelesaikan pr ipsnya. Jadi dia hanya duduk terdiam memandang ke luar jendela sambil menopang dagu dengan tangannya. Bibirnya mengerucut, sesekali keningnya berkerut. Aku tetap dalam posisiku, memandanginya dalam diam, memandanginya di antara ributnya kelas kami.
Lalu tiba-tiba laki-laki itu mengalihkan pandangannya padaku, matanya menatap mataku dan pandangan kami seketika bertemu. Kami sama-sama saling menatap, sama-sama tidak bergerak, tidak berbicara.
Selama kira-kira lima detik aku memandangi wajahnya sebelum aku cepat-cepat menundukkan kepalaku dalam-dalam. Pada saat itu juga ada sesuatu yang kurasakan merayapi hatiku, pelan-pelan. Awalnya membuat jantungku terasa berdebar namun pada akhirnya perasaan gugup itu berubah menjadi perasaan nyaman yang tidak bisa kujelaskan. Perasaan hangat yang seketika menyusup ke dalam dadaku. Aku menarik napas dan menghembuskannya dengan pelan sebelum aku mengangkat kembali pandanganku dan menatap kembali wajah itu. Sebersit perasaan kecewa datang ketika rupanya laki-laki itu sudah tidak menatap wajahku lagi. Ia telah kembali memandang ke luar jendela dengan pandangan cueknya.
Aku menggigit bibirku. Tampaknya kejadian tadi sama sekali bukan kejadian yang berharga baginya, kejadian biasa yang tidak akan melekat dalam ingatan, kejadian yang bukan untuk dikenang. Bagaimana pun, bertemunya pandangan kami tadi telah menghadirkan perasaan lain di hatiku. Perasaan aneh, suatu emosi lain yang masih asing dan belum pernah kurasakan sebelumnya, perasaan yang janggal namun juga menghangatkan.
Perasaan yang menghadirkan sesuatu yang berbeda.
Dan kurasa aku mengenali perasaan itu.
Cinta.
********
Aku masih sering memandanginya walaupun ia tidak pernah balik memandangiku.
Dirinya masih sama dengan yang dulu, laki-laki gondrong pendiam yang duduk di barisan belakang bangkuku. Laki-laki yang tidak kunjung berbicara padaku bahkan sesaat sebelum kami lulus, laki-laki yang menyita hatiku, yang banyak menyita perhatianku. Laki-laki yang banyak membuatku termenung.
Memang menyakitkan rasanya ketika melihat orang yang kita cintai tidak pernah memberi perhatian lebih. Aku sangat mengerti jika ia tidak bisa membalas perasaanku karena tidak selamanya cinta itu indah, tidak selamanya perasaan itu harus terbalaskan, karena sebenarnya ini bukan tentang perasaan yang tidak terbalaskan, bukan itu. Hal yang sangat membuatku sakit, kenyataan bahwa ternyata pengabaiannya, rasa tidak pedulinya mampu membuatku merasa begitu gelisah. Rasa nyaman yang awalnya ia hadirkan berubah menjadi kepedihan yang entah aku sendiri tidak bisa menjelaskannya.
Satu-satunya yang menjadi masalah adalah ia tidak pernah mencoba untuk mendekatiku, untuk menjalin suatu obrolan ringan pun tidak. Ia terasa begitu datar, begitu hambar. Atau mungkin ia tidak mengerti bahwa selama ini aku dengan rapi menyimpan perasaan lebihku padanya dalam hati, ia tidak mengetahui bahwa aku selalu mengulang namanya berkali-kali untuk terus melekat dalam ingatanku, berharap aku dan dia bisa menjadi 'kita'. Dia tidak pernah mengerti, seolah semua pandanganku padanya hanya ia artikan sebagai pandangan biasa yang tidak memiliki arti penting, seolah semua perhatiannku selama ini tidak menunjukkan bahwa aku benar-benar ingin menjadi bagian penting dalam hatinya.
Tapi itu semua tidak pernah merubah perasaanku padanya. Aku masih sama seperti dulu, aku yang suka memandanginya diam-diam, aku yang suka pada sikap dinginnya, aku suka pada anak laki laki gondrong di barisan belakang kursiku itu. Tidak kurasa aku bukan menyukainya, lebih dari itu aku mencintainya. Aneh dan tidak masuk akal bisa mencintai orang seperti itu, tapi beginilah adanya, cintaku rupanya benar-benar tanpa syarat, tanpa alasan yang jelas dan runtut.
Namun, aku juga sadar aku dan dia memang berbeda. Aku tidak bisa merubahnya sama sekali. Kami memang berbeda dalam segala hal, aku menginginkannya tetapi ia tidak menginginkanku.
Tak apa, aku bisa mengerti.
Aku hanya ingin menyampaikan satu hal untuknya, "Aku mencintaimu, laki-laki gondrong yang duduk di barisan belakang kursiku."
Anak laki-laki itu duduk dua bangku di belakangku. Rambutnya gondrong berantakan, kulitnya terbilang putih untuk ukuran seorang anak laki-laki dan sorot matanya terlihat cuek, sekilas tidak peduli dengan apa yang ada di sekelilingnya.
Beberapa minggu terakhir ini aku selalu memandanginya dari jauh, hanya memandangi. aku tidak berani menegur atau menyapanya. Pertama, aku terlalu malu untuk melakukannya, kedua, kupikir aku sama sekali tidak punya alasan untuk mengajaknya mengobrol, dan yang ketiga karena mungkin ia sama sekali tidak akan menggubris sapaanku.
Aku juga tidak mengerti apa yang membuatku begitu sering memandanginya. Aku hanya merasakan ada kesan yang berbeda, ada sesuatu yang berbeda ketika aku menatapnya. Aku tidak tahu apa itu tapi kurasa ia berbeda dengan anak laki-laki lain di sekolahku, di kelasku. Ia begitu tertutup, begitu pendiam. Itu yang membuatku berpikir untuk selangkah lebih dekat dengannya, tidak apa hanya selangkah. Karena yang penting bagiku adalah mengetahui suatu hal tentang dirinya, walaupun hanya sedikit.
Dia memang teman sekelasku. Hanya saja aku tidak begitu mengenalnya, aku hanya berbicara dengannya jika ada hal yang bersangkutan dengan masalah pelajaran, itu pun hanya beberapa kali, bisa dihitung dengan jari. Seperti yang sudah kukatakan, aku hanya dapat memandanginya diam-diam. Hanya sebatas itu.
********
Hari senin pagi. Suasana kelas sedang ribut-ributnya, tepat beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi. Teman-teman sekelasku sedang sibuk mengerjakan pr ips, begitulah ciri khas kami, selalu mengerjakan pekerjaan rumah di sekolah.
Di antara kesibukan pagi itu di kelas, tiba-tiba aku ingin memandanginya lagi. Pelan-pelan aku memutar kepalaku ke arah dua bangku setelah bangkuku. Ya, ke arah anak laki-laki berambut gondrong yang pendiam itu. Sama seperti aku, dia sudah menyelesaikan pr ipsnya. Jadi dia hanya duduk terdiam memandang ke luar jendela sambil menopang dagu dengan tangannya. Bibirnya mengerucut, sesekali keningnya berkerut. Aku tetap dalam posisiku, memandanginya dalam diam, memandanginya di antara ributnya kelas kami.
Lalu tiba-tiba laki-laki itu mengalihkan pandangannya padaku, matanya menatap mataku dan pandangan kami seketika bertemu. Kami sama-sama saling menatap, sama-sama tidak bergerak, tidak berbicara.
Selama kira-kira lima detik aku memandangi wajahnya sebelum aku cepat-cepat menundukkan kepalaku dalam-dalam. Pada saat itu juga ada sesuatu yang kurasakan merayapi hatiku, pelan-pelan. Awalnya membuat jantungku terasa berdebar namun pada akhirnya perasaan gugup itu berubah menjadi perasaan nyaman yang tidak bisa kujelaskan. Perasaan hangat yang seketika menyusup ke dalam dadaku. Aku menarik napas dan menghembuskannya dengan pelan sebelum aku mengangkat kembali pandanganku dan menatap kembali wajah itu. Sebersit perasaan kecewa datang ketika rupanya laki-laki itu sudah tidak menatap wajahku lagi. Ia telah kembali memandang ke luar jendela dengan pandangan cueknya.
Aku menggigit bibirku. Tampaknya kejadian tadi sama sekali bukan kejadian yang berharga baginya, kejadian biasa yang tidak akan melekat dalam ingatan, kejadian yang bukan untuk dikenang. Bagaimana pun, bertemunya pandangan kami tadi telah menghadirkan perasaan lain di hatiku. Perasaan aneh, suatu emosi lain yang masih asing dan belum pernah kurasakan sebelumnya, perasaan yang janggal namun juga menghangatkan.
Perasaan yang menghadirkan sesuatu yang berbeda.
Dan kurasa aku mengenali perasaan itu.
Cinta.
********
Aku masih sering memandanginya walaupun ia tidak pernah balik memandangiku.
Dirinya masih sama dengan yang dulu, laki-laki gondrong pendiam yang duduk di barisan belakang bangkuku. Laki-laki yang tidak kunjung berbicara padaku bahkan sesaat sebelum kami lulus, laki-laki yang menyita hatiku, yang banyak menyita perhatianku. Laki-laki yang banyak membuatku termenung.
Memang menyakitkan rasanya ketika melihat orang yang kita cintai tidak pernah memberi perhatian lebih. Aku sangat mengerti jika ia tidak bisa membalas perasaanku karena tidak selamanya cinta itu indah, tidak selamanya perasaan itu harus terbalaskan, karena sebenarnya ini bukan tentang perasaan yang tidak terbalaskan, bukan itu. Hal yang sangat membuatku sakit, kenyataan bahwa ternyata pengabaiannya, rasa tidak pedulinya mampu membuatku merasa begitu gelisah. Rasa nyaman yang awalnya ia hadirkan berubah menjadi kepedihan yang entah aku sendiri tidak bisa menjelaskannya.
Satu-satunya yang menjadi masalah adalah ia tidak pernah mencoba untuk mendekatiku, untuk menjalin suatu obrolan ringan pun tidak. Ia terasa begitu datar, begitu hambar. Atau mungkin ia tidak mengerti bahwa selama ini aku dengan rapi menyimpan perasaan lebihku padanya dalam hati, ia tidak mengetahui bahwa aku selalu mengulang namanya berkali-kali untuk terus melekat dalam ingatanku, berharap aku dan dia bisa menjadi 'kita'. Dia tidak pernah mengerti, seolah semua pandanganku padanya hanya ia artikan sebagai pandangan biasa yang tidak memiliki arti penting, seolah semua perhatiannku selama ini tidak menunjukkan bahwa aku benar-benar ingin menjadi bagian penting dalam hatinya.
Tapi itu semua tidak pernah merubah perasaanku padanya. Aku masih sama seperti dulu, aku yang suka memandanginya diam-diam, aku yang suka pada sikap dinginnya, aku suka pada anak laki laki gondrong di barisan belakang kursiku itu. Tidak kurasa aku bukan menyukainya, lebih dari itu aku mencintainya. Aneh dan tidak masuk akal bisa mencintai orang seperti itu, tapi beginilah adanya, cintaku rupanya benar-benar tanpa syarat, tanpa alasan yang jelas dan runtut.
Namun, aku juga sadar aku dan dia memang berbeda. Aku tidak bisa merubahnya sama sekali. Kami memang berbeda dalam segala hal, aku menginginkannya tetapi ia tidak menginginkanku.
Tak apa, aku bisa mengerti.
Aku hanya ingin menyampaikan satu hal untuknya, "Aku mencintaimu, laki-laki gondrong yang duduk di barisan belakang kursiku."
-Rαisα
Langganan:
Postingan (Atom)