Selasa, 22 Januari 2013

Laki-laki Gondrong di Kursi Belakang

        Aku kembali mememandanginya diam-diam.
        Anak laki-laki itu duduk dua bangku di belakangku. Rambutnya gondrong berantakan, kulitnya terbilang putih untuk ukuran seorang anak laki-laki dan sorot matanya terlihat cuek, sekilas tidak peduli dengan apa yang ada di sekelilingnya.
        Beberapa minggu terakhir ini aku selalu memandanginya dari jauh, hanya memandangi. aku tidak berani menegur atau menyapanya. Pertama, aku terlalu malu untuk melakukannya, kedua, kupikir aku sama sekali tidak punya alasan untuk mengajaknya mengobrol, dan yang ketiga karena mungkin ia sama sekali tidak akan menggubris sapaanku.
        Aku juga tidak mengerti apa yang membuatku begitu sering memandanginya. Aku hanya merasakan ada kesan yang berbeda, ada sesuatu yang berbeda ketika aku menatapnya. Aku tidak tahu apa itu tapi kurasa ia berbeda dengan anak laki-laki lain di sekolahku, di kelasku. Ia begitu tertutup, begitu pendiam. Itu yang membuatku berpikir untuk selangkah lebih dekat dengannya, tidak apa hanya selangkah. Karena yang penting bagiku adalah mengetahui suatu hal tentang dirinya, walaupun hanya sedikit.
         Dia memang teman sekelasku. Hanya saja aku tidak begitu mengenalnya, aku hanya berbicara dengannya jika ada hal yang bersangkutan dengan masalah pelajaran, itu pun hanya beberapa kali, bisa dihitung dengan jari. Seperti yang sudah kukatakan, aku hanya dapat memandanginya diam-diam. Hanya sebatas itu.

                                                                         ********

        Hari senin pagi. Suasana kelas sedang ribut-ributnya, tepat beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi. Teman-teman sekelasku sedang sibuk mengerjakan pr ips, begitulah ciri khas kami, selalu mengerjakan pekerjaan rumah di sekolah.
        Di antara kesibukan pagi itu di kelas, tiba-tiba aku ingin memandanginya lagi. Pelan-pelan aku memutar kepalaku ke arah dua bangku setelah bangkuku. Ya, ke arah anak laki-laki berambut gondrong yang pendiam itu. Sama seperti aku, dia sudah menyelesaikan pr ipsnya. Jadi dia hanya duduk terdiam memandang ke luar jendela sambil menopang dagu dengan tangannya. Bibirnya mengerucut, sesekali keningnya berkerut. Aku tetap dalam posisiku, memandanginya dalam diam, memandanginya di antara ributnya kelas kami.
        Lalu tiba-tiba laki-laki itu mengalihkan pandangannya padaku, matanya menatap mataku dan pandangan kami seketika bertemu. Kami sama-sama saling menatap, sama-sama tidak bergerak, tidak berbicara.
        Selama kira-kira lima detik aku memandangi wajahnya sebelum aku cepat-cepat menundukkan kepalaku dalam-dalam. Pada saat itu juga ada sesuatu yang kurasakan merayapi hatiku, pelan-pelan. Awalnya membuat jantungku terasa berdebar namun pada akhirnya perasaan gugup itu berubah menjadi perasaan nyaman yang tidak bisa kujelaskan. Perasaan hangat yang seketika menyusup ke dalam dadaku. Aku menarik napas dan menghembuskannya dengan pelan sebelum aku mengangkat kembali pandanganku dan menatap kembali wajah itu. Sebersit perasaan kecewa datang ketika rupanya laki-laki itu sudah tidak menatap wajahku lagi. Ia telah kembali memandang ke luar jendela dengan pandangan cueknya.
        Aku menggigit bibirku. Tampaknya kejadian tadi sama sekali bukan kejadian yang berharga baginya, kejadian biasa yang tidak akan melekat dalam ingatan, kejadian yang bukan untuk dikenang. Bagaimana pun, bertemunya pandangan kami tadi telah menghadirkan perasaan lain di hatiku. Perasaan aneh, suatu emosi lain yang masih asing dan belum pernah kurasakan sebelumnya, perasaan yang janggal namun juga menghangatkan.
       Perasaan yang menghadirkan sesuatu yang berbeda.
       Dan kurasa aku mengenali perasaan itu.
       Cinta.

                                                                         ********

        Aku masih sering memandanginya walaupun ia tidak pernah balik memandangiku.
        Dirinya masih sama dengan yang dulu, laki-laki gondrong pendiam yang duduk di barisan belakang bangkuku. Laki-laki yang tidak kunjung berbicara padaku bahkan sesaat sebelum kami lulus, laki-laki yang menyita hatiku, yang banyak menyita perhatianku. Laki-laki yang banyak membuatku termenung.
        Memang menyakitkan rasanya ketika melihat orang yang kita cintai tidak pernah memberi perhatian lebih. Aku sangat mengerti jika ia tidak bisa membalas perasaanku karena tidak selamanya cinta itu indah, tidak selamanya perasaan itu harus terbalaskan, karena sebenarnya ini bukan tentang perasaan yang tidak terbalaskan, bukan itu. Hal yang sangat membuatku sakit, kenyataan bahwa ternyata pengabaiannya, rasa tidak pedulinya mampu membuatku merasa begitu gelisah. Rasa nyaman yang awalnya ia hadirkan berubah menjadi kepedihan yang entah aku sendiri tidak bisa menjelaskannya.
        Satu-satunya yang menjadi masalah adalah ia tidak pernah mencoba untuk mendekatiku, untuk menjalin suatu obrolan ringan pun tidak. Ia terasa begitu datar, begitu hambar. Atau mungkin ia tidak mengerti bahwa selama ini aku dengan rapi menyimpan perasaan lebihku padanya dalam hati, ia tidak mengetahui bahwa aku selalu mengulang namanya berkali-kali untuk terus melekat dalam ingatanku, berharap aku dan dia bisa menjadi 'kita'. Dia tidak pernah mengerti, seolah semua pandanganku padanya hanya ia artikan sebagai pandangan biasa yang tidak memiliki arti penting, seolah semua perhatiannku selama ini tidak menunjukkan bahwa aku benar-benar ingin menjadi bagian penting dalam hatinya.
        Tapi itu semua tidak pernah merubah perasaanku padanya. Aku masih sama seperti dulu, aku yang suka memandanginya diam-diam, aku yang suka pada sikap dinginnya, aku suka pada anak laki laki gondrong di barisan belakang kursiku itu. Tidak kurasa aku bukan menyukainya, lebih dari itu aku mencintainya. Aneh dan tidak masuk akal bisa mencintai orang seperti itu, tapi beginilah adanya, cintaku rupanya benar-benar tanpa syarat, tanpa alasan yang jelas dan runtut.
        Namun, aku juga sadar aku dan dia memang berbeda. Aku tidak bisa merubahnya sama sekali. Kami memang berbeda dalam segala hal, aku menginginkannya tetapi ia tidak menginginkanku.
     
       Tak apa, aku bisa mengerti.
       Aku hanya ingin menyampaikan satu hal untuknya, "Aku mencintaimu, laki-laki gondrong yang duduk di barisan belakang kursiku."

-Rαisα

Tidak ada komentar:

Posting Komentar